Batubara memiliki kemampuan menyimpan gas dalam jumlah yang
banyak, karena permukaannya mempunyai kemampuan mengadsorpsi gas.
Meskipun batubara berupa benda padat dan terlihat seperti batu yang
keras, tapi di dalamnya banyak sekali terdapat pori-pori yang berukuran
lebih kecil dari skala mikron, sehingga batubara ibarat sebuah spon.
Kondisi inilah yang menyebabkan permukaan batubara menjadi sedemikian
luas sehingga mampu menyerap gas dalam jumlah yang besar. Jika tekanan
gas semakin tinggi, maka kemampuan batubara untuk mengadsorpsi gas juga
semakin besar.
Gas yang terperangkap pada batubara sebagian besar terdiri dari gas metana, sehingga secara umum gas ini disebut dengan Coal Bed Methane atau disingkat CBM. Dalam klasifikasi energi, CBM termasuk unconventional energy (peringkat 3), bersama-sama dengan tight sand gas, devonian shale gas, dan gas hydrate. High quality gas (peringkat 1) dan low quality gas (peringkat 2) dianggap sebagai conventional gas.
Produksi CBM
Di dalam lapisan batubara banyak terdapat rekahan (cleat),
yang terbentuk ketika berlangsung proses pembatubaraan. Melalui rekahan
itulah air dan gas mengalir di dalam lapisan batubara. Adapun bagian
pada batubara yang dikelilingi oleh rekahan itu disebut dengan matriks (coal matrix),
tempat dimana kebanyakan CBM menempel pada pori-pori yang terdapat di
dalamnya. Dengan demikian, lapisan batubara pada target eksplorasi CBM
selain berperan sebagai reservoir, juga berperan sebagai source rock.
Gambar 1. Prinsip produksi CBM
CBM bisa keluar (desorption) dari matriks melalui rekahan,
dengan merendahkan tekanan air pada target lapisan. Hubungan antara
kuantitas CBM yang tersimpan dalam matriks terhadap tekanan dinamakan
kurva Langmuir Isotherm (proses tersebut berada pada suhu yang konstan
terhadap perubahan tekanan). Untuk memperoleh CBM, sumur produksi dibuat
melalui pengeboran dari permukaan tanah sampai ke lapisan batubara
target. Karena di dalam tanah sendiri lapisan batubara mengalami tekanan
yang tinggi, maka efek penurunan tekanan akan timbul bila air tanah di
sekitar lapisan batubara dipompa (dewatering) ke atas. Hal ini
akan menyebabkan gas metana terlepas dari lapisan batubara yang
memerangkapnya, dan selanjutnya akan mengalir ke permukaan tanah melalui
sumur produksi tadi. Selain gas, air dalam jumlah yang banyak juga akan
keluar pada proses produksi ini.
Potensi CBM
Mengenai pembentukan CBM, maka
berdasarkan riset geosains organik dengan menggunakan isotop stabil
karbon bernomor masa 13, dapat diketahui bahwa terdapat 2 jenis pola
pembentukan.
Sebagian besar CBM adalah gas yang terbentuk ketika terjadi
perubahan kimia pada batubara akibat pengaruh panas, yang berlangsung di
kedalaman tanah. Ini disebut dengan proses thermogenesis. Sedangkan
untuk CBM pada lapisan brown coal (lignit) yang terdapat di
kedalaman kurang dari 200m, gas metana terbentuk oleh aktivitas
mikroorganisme yang berada di lingkungan anaerob. Ini disebut dengan
proses biogenesis. Baik yang terbentuk secara thermogenesis maupun
biogenesis, gas yang terperangkap dalam lapisan batubara disebut dengan
CBM.
Gambar 2. Pembentukan CBM
Kuantitas CBM berkaitan erat dengan peringkat batubara, yang makin bertambah kuantitasnya dari gambut hingga medium volatile bituminous, lalu berkurang hingga antrasit. Tentu saja kuantitas gas akan semakin banyak jika lapisan batubaranya semakin tebal.
Dari penelitian Steven dan Hadiyanto, 2005, (IAGI special publication) ada 11 cekungan batubara (coal basin)
di Indonesia yang memiliki CBM, dengan 4 besar urutan cadangan sebagai
berikut: 1. Sumsel (183 Tcf), 2. Barito (101.6 Tcf), 3. Kutai (80.4
Tcf), 4. Sum-Tengah (52.5 Tcf). Dengan kata lain sumber daya CBM di
Sumsel sama dengan total (conventional) gas reserves di seluruh
Indonesia.
Terkait potensi CBM ini, ada 2 hal yang menarik untuk diperhatikan:
Pertama, jika ada reservoir conventional gas (sandstone) dan reservoir CBM (coal) pada kedalaman, tekanan, dan volume batuan yang sama, maka volume CBM bisa mencapai 3 – 6 kali lebih banyak dari conventional gas. Dengan kata lain, CBM menarik secara kuantitas.
Kedua, prinsip terkandungnya CBM adalah adsorption pada coal matrix,
sehingga dari segi eksplorasi faktor keberhasilannya tinggi, karena CBM
bisa terdapat pada antiklin maupun sinklin. Secara mudahnya dapat
dikatakan bahwa ada batubara ada CBM.
Produksi CBM & Teknologi Pengeboran
Pada
metode produksi CBM secara konvensional, produksi yang ekonomis hanya
dapat dilakukan pada lapisan batubara dengan permeabilitas yang baik.
Tapi dengan kemajuan teknik pengontrolan arah pada pengeboran, arah
lubang bor dari permukaan dapat ditentukan dengan bebas, sehingga
pengeboran memanjang dalam suatu lapisan batubara dapat dilakukan.
Seperti ditunjukkan oleh gambar di bawah, produksi gas dapat
ditingkatkan volumenya melalui satu lubang bor dengan menggunakan teknik
ini.
Gambar 3. Teknik produksi CBM
Teknik ini juga memungkinkan produksi gas secara ekonomis pada
suatu lokasi yang selama ini tidak dapat diusahakan, terkait
permeabilitas lapisan batubaranya yang jelek. Sebagai contoh adalah apa
yang dilakukan di Australia dan beberapa negara lain, dimana produksi
gas yang efisien dilakukan dengan sistem produksi yang mengkombinasikan
sumur vertikal dan horizontal, seperti terlihat pada gambar di bawah.
Gambar 4. Produksi CBM dengan sumur kombinasi
Lebih jauh lagi, telah muncul pula ide berupa sistem produksi
multilateral, yakni sistem produksi yang mengoptimalkan teknik
pengontrolan arah bor. Lateral yang dimaksud disini adalah sumur (lubang
bor) yang digali arah horizontal, sedangkan multilateral adalah sumur
horizontal yang terbagi-bagi menjadi banyak cabang.
Pada produksi yang lokasi permukaannya terkendala oleh keterbatasan
instalasi fasilitas akibat berada di pegunungan misalnya, maka biaya
produksi memungkinkan untuk ditekan bila menggunakan metode ini. Secara
praktikal, misalnya dengan melakukan integrasi fasilitas permukaan.
Catatan: Teknik pengontrolan arah bor
Teknik pengeboran yang menggunakan down hole motor (pada mekanisme ini, hanya bit yang terpasang di ujung down hole motor saja yang berputar, melalui kerja fluida bertekanan yang dikirim dari permukaan) dan bukan mesin bor rotary (pada
mekanisme ini, perputaran bit disebabkan oleh perputaran batang bor
atau rod) yang selama ini lazim digunakan, untuk melakukan pengeboran
sumur horizontal dll dari permukaan. Pada teknik ini, alat yang disebut
MWD (Measurement While Drilling) terpasang di bagian belakang down hole motor, berfungsi untuk memonitor arah lubang bor dan melakukan koreksi arah sambil terus mengebor.
Gambar 5. Pengontrolan arah bor
ECBM
ECBM (Enhanced Coal Bed Methane Recovery)
adalah teknik untuk meningkatkan keterambilan CBM. Pada teknik ini, gas
injeksi yang umum digunakan adalah N dan CO2. Disini, hasil yang
diperoleh sangat berbeda tergantung dari gas injeksi mana yang
digunakan. Gambar di bawah ini menunjukkan produksi CBM dengan
menggunakan gas injeksi N dan CO2.
Gambar 6. ECBM dengan N dan CO2
Bila N yang digunakan, hasilnya segera muncul sehingga volume
produksi juga meningkat. Akan tetapi, karena N dapat mencapai sumur
produksi dengan cepat, maka volume produksi secara keseluruhan justru
menjadi berkurang.
Ketika N diinjeksikan ke dalam rekahan (cleat), maka kadar
N di dalamnya akan meningkat. Dan karena konsentrasi N di dalam matriks
adalah rendah, maka N akan mengalir masuk ke matriks tersebut. Sebagian
N yang masuk ke dalam matriks akan menempel pada pori-pori. Oleh karena
jumlah adsorpsi N lebih sedikit bila dibandingkan dengan gas metana,
maka matriks akan berada dalam kondisi jenuh (saturated) dengan sedikit N saja.
Gambar 7. Tingkat adsorpsi gas
Gambar 8. Substitusi gas injeksi pada matriks batubara
Namun tidak demikian dengan CO2. Gas ini lebih mudah menempel bila
dibandingkan dengan gas metana, sehingga CO2 akan menghalau gas metana
yang menempel pada pori-pori. CO2 kemudian segera saja banyak menempel
di tempat tersebut. Dengan demikian, di dalam matriks akan banyak
terdapat CO2 sehingga volume gas itu yang mengalir melalui cleat lebih
sedikit bila dibandingkan dengan N. Akibatnya, CO2 memerlukan waktu yang
lebih lama untuk mencapai sumur produksi. Selain itu, karena CO2 lebih
banyak mensubstitusi gas metana yang berada di dalam matriks, maka
tingkat keterambilan (recovery) CBM juga meningkat.
Potensi Coal Bed Methane (CBM) sebagai energi alternatif di Indonesia
Coal bed methane (CBM) merupakan sumber energi yang relatif masih
baru. Sumber energi ini merupakan salah satu energi alternatif yang
dapat diperbaharui penggunaannya. Gas metane yang diambil dari lapisan
batubara ini dapat digunakan sebagai energi untuk berbagai kebutuhan
manusia. Walaupun dari energi fosil yang tidak terbaharukan, tetapi gas
ini terus terproduksi bila lapisan batubara tersebut ada. Kenapa? Yuk
kita bahas sedikit.
Sebagaimana kita ketahui, batubara di Indonesia cadangan dan
produksinya cukup menjanjikan. Dapat kita lihat pada gambar 1, dimana
Indonesia termasuk negara produsen batubara dunia.
Gambar 1. Negara dengan cadangan dan produksi batubara terbesar di dunia.
Seiring bertambahnya kebutuhan akan energi, baik untuk listrik dan
transportasi, negara-negara berkembang seperti Indonesia juga
membutuhkan suatu energi alternatif yang dapat terus dikembangkan. Dapat
kita lihat pada gambar 2, dimana kebutuhan akan energi untuk pembangkit
listrik terus berkembang. Salah satu pembangkit listrik di dunia yang
paling dominan adalah dari energi batubara.
Gambar 2. Sumber pemakaian energi untuk konsumsi listrik di dunia.
Berdasarkan perkiraan dari sebuah institusi di Prancis, maka
konsumsi energi di dunia tetap akan memakai minyak, batubara dan gas
sebagai energi primer (gambar 3). Projeksi ini memberikan gambaran
sebagaimana pentingnya peran energi fosil sebagai energi yang ”harus”
terbarukan. Kata-kata harus disini mungkin tidak masuk akal, karena
energi tersebut memang habis dipakai (tidak dapat diperbaharui). Dengan
adanya teknologi, riset dan pemikiran baru, maka sebuah lapisan batubara
dapat memberikan sebuah energi baru berupa gas yang dapat kita pakai.
Bentuk CBM sama halnya dengan gas alam lainnya. Dapat dimanfaatkan
rumah tangga, industri kecil, hingga industri besar. CBM biasanya
didapati pada tambang batu bara non-tradisional, yang posisinya di bawah
tanah, di antara rekahan-rekahan batu bara.
Gambar 3. Energi primer yang dipakai di dunia.
Untuk memproduksi CBM, lapisan batubara harus terairi dengan baik
sampai pada titik dimana gas terdapat pada permukaan batubara. Gas
tersebut akan teraliri melalui matriks dan pori, dan keluar melalui
rekahan atau bukaan yang terdapat pada sumur (gambar 4).
Air dalam lapisan batubara didapat dari adanya proses penggambutan
dan pembatubaraan, atau dari masukan (recharge) air dalam outcrops dan
akuifer. Air dalam lapisan tersebut dapat mencapai 90% dari jumlah air
keseluruhan. Selama proses pembatubaraan, kandungan kelembaban
(moisture) berkurang, dengan rank batubara yang meningkat.
Gambar 4. Kaitan antara lapisan batubara, air dan sumur CBM.
Gas biogenik dari lapisan batubara subbituminus akan dapat
berpotensi menjadi CBM. Gas biogenik tersebut terjadi oleh adanya
reduksi bakteri dari CO2, dimana hasilnya berupa methanogens, bakteri
anaerobik yang keras, menggunakan H2 yang tersedia untuk mengkonversi
asetat dan CO2 menjadi metane sebagai by produk dari metabolismenya.
Sedangkan beberapa methanogens membuat amina, sulfida, dan methanol
untuk memproduksi metane.
Aliran air, dapat memperbaharui aktivitas bakteri, sehingga gas
biogenik dapat berkembang hingga tahap akhir. Pada saat penimbunan
maksimum, temperatur maksimum pada lapisan batubara mencapai 40-90°C,
dimana kondisi ini sangat ideal untuk pembentukan bakteri metane. Metane
tersebut terbentuk setelah aliran air bawah tanah pada saat ini telah
ada.
Apabila air tanah turun, tekanan pada reservoir turun, pada saat
ini CBM bermigrasi menuju reservoir dari sumber lapisan batubara.
Perulangan kejadian ini merupakan regenerasi dari gas biogenik. Kejadian
ini dipicu oleh naiknya air tanah atau lapisan batubara yang tercuci
oleh air. Hal tersebut yang memberikan indikasi bahwa CBM merupakan
energi yang dapat terbaharui.
Lapisan batubara dapat menjadi batuan sumber dan reservoir, karena
itu CBM diproduksi secara insitu, tersimpan melalui permukaan rekahan,
mesopore, dan mikropore (gambar 5). Permukaan tersebut menarik molekul
gas, sehingga tersimpan menjadi dekat. Gas tersebut tersimpan pada
rekahan dan sistem pori pada batubara sampai pada saat air merubah
tekanan pada reservoir. Gas kemudian keluar melalui matriks batubara dan
mengalir melalui rekahan sampai pada sumur. Gas tersebut sering kali
terjebak pada rekahan-rekahan.
Gambar 5. Kaitan antara porositas mikro, meso dan makro.
CBM juga dapat bermigrasi secara vertikal dan lateral ke reservoir
batupasir yang saling berhubungan. Selain itu, dapat juga melalui sesar
dan rekahan. Kedalaman minimal dari CBM yang telah dijumpai 300 meter
dibawah permukaan laut.
Gas terperangkap pada lapisan batubara sangat bergantung pada
posisi dari ketinggian air bawah tanah. Normalnya, tinggi air berada
diatas lapisan batubara, dan menahan gas di dalam lapisan. Dengan cara
menurunkan tinggi air, maka tekanan dalam reservoir berkurang, sehingga
dapat melepaskan CBM (gambar 6).
Gambar 6. Penampang sumur CBM.
Pada saat pertama produksi, ada fasa dimana volume air akan
dikurangi (dewatering) agar gas yang dapat diproduksi dapat meningkat.
Setelah fasa ini, fasa-fasa produksi stabil akan terjadi. Seiring
bertambahnya waktu, peak produksi akan terjadi, saat ini merupakan saat
dimana produksi CBM mencapai titik maksimal dan akan turun (decline).
Volume gas yang diproduksi akan berbanding terbalik dengan volume
air. Bila volume gas yang diproduksi tinggi, maka volume air akan
berkurang. Setelah peak produksi, akan terjadi fasa selanjutnya, yaitu
fasa penurunan produksi (gambar 7). Seperti produksi minyak dan gas pada
umumnya, fasa-fasa tersebut biasa terjadi. Namun demikian, seperti yang
telah diuraikan, CBM dapat terbaharukan.
Gambar 7. Volume vs time dalam produksi CBM.
Gambar 8. Cadangan CBM Amerika.
Cadangan Coal Bed Methane (CBM) Indonesia saat ini cukup besar,
yakni 450 TCS dan tersebar dalam 11 basin. Potensi terbesar terletak di
kawasan Barito, Kalimantan Timur yakni sekira 101,6 TCS, disusul oleh
Kutai sekira 80,4 TCS. Bandingkan dengan gambar 8, Amerika yang memiliki
cadangan batubara cukup luas dan tersebar, hanya memiliki cadangan CBM
yang relatif kecil.
Berdasarkan data Bank Dunia, konsentrasi potensi terbesar terletak
di Kalimantan dan Sumatera. Di Kalimantan Timur, antara lain tersebar di
Kabupaten Berau dengan kandungan sekitar 8,4 TCS, Pasir/Asem (3 TCS),
Tarakan (17,5 TCS), dan Kutai (80,4 TCS). Kabupaten Barito, Kalimantan
Tengah (101,6 TCS). Sementara itu di Sumatera Tengah (52,5 TCS),
Sumatera Selatan (183 TCS), dan Bengkulu 3,6 TCS, sisanya terletak di
Jatibarang, Jawa Barat (0,8 TCS) dan Sulawesi (2 TCS).
Sebagai informasi, sumber daya terbesar sebesar 6,49 TCS ada di
blok Sangatta-1 dengan operator Pertamina hulu energi methane Kalimantan
A dengan basin di Kutai. Disusul Indragiri hulu dengan operator
Samantaka mineral prima dengan basin Sumatera Selatan yang mempunyai
sumber daya 5,50 TCS, dan sumber daya paling rendah terlatak di blok
Sekayu yang dioperatori Medco SBM Sekayo dengan basin Sumatera Selatan,
dengan sumber daya 1,70 TCS.
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Facebook
0 komentar:
Posting Komentar