Selasa, 25 Februari 2014
BLOK CEPU
11.42
bro
No comments
Blok
Migas Cepu menjadi bagian dari sejarah dimana Pertamina, perusahaan
milik rakyat Indonesia jadi pecundang di negeri sendiri. Melalui beragam
dalih, arbitrase, peningkatan lifting dan penyelamatan APBN,
kontraknya diberikan ke Exxon. Jika dikelola Exxon akan berproduksi
165.000 barel per hari (bph) pada 2010 dan APBN akan selamat. Nyatanya,
hari ini itu tak menjadi realita. Basa-basi semata. Blok Cepu
produksinya masih berkisar 25.000 bph, dan APBN pun tak terganggu oleh
kegagalan itu. Nasi telah jadi bubur. Exxon melenggang mulus, Pertamina
gigit jari. Apakah Bangsa Indonesia akan mengulang sejarah serupa di
Blok Mahakam?
Blok Migas Mahakam di Kabupaten Kutai
Kertanegara, Kalimantan Timur, memang membuat perusahaan migas asal
Perancis Total E&P Indonesie dan mitranya Inpex Corporation dari
Jepang, betah dan nyaman tinggal disana. Betapa tidak, blok seluas 601
hektar itu memiliki cadangan 12 triliun kaki kubik (TCF) gas. Jauh lebih
besar dibandingkan ladang gas Tangguh di Papua yang memiliki cadangan 8
TCF. Saat ini, dari Blok Mahakam yang belum dalam produksi maksimal,
mampu menyuplai 30 persen dari total produksi gas nasional sebanyak
8.900 juta kaki kubik per hari (mmscfd).
TOTAL telah menguasai blok yang
tersebut sejak tahun 1967. Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Mahakam
didapatnya 31 Maret 1967 dari Pemerintah Indonesia. Kontrak itu diteken
pemerintah hanya beberapa pekan setelah Soeharto dilantik menjadi
Presiden ke-2. Durasinya 30 tahun hingga 31 Maret 1997. Tapi, beberapa
bulan sebelum Presiden Soeharto lengser, kontrak itu diperpanjang selama
20 tahun, sehingga akan berakhir 31 Maret 2017.
Kini, menjelang Pemilu 2014 yang
menandai berakhirnya Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(karena sudah 2 kali menjabat), Perusahaan Migas dari Perancis ini, bisa
jadi memainkan beragam jurus demi tetap mencengkram Blok Mahakam agar
tetap dalam genggaman.
Seperti apa sikap pemerintahan SBY?
Melalui Menteri ESDM Jero Wacik dikatakan bahwa kontrak Blok Mahakam
baru berakhir 2017 mendatang. Jadi tidak terlalu penting diputus oleh
pemerintahan sekarang.
“Daripada saya dicurigai cari dana
kampanye, ya sudah, biar diputuskan pemerintah baru. Biar mereka yang
pusing,” ungkap Jero Wacik, kepada pers di Jakarta, 11 April 2013 lalu.
Tak lama setelah dikeluarkannya sikap
pemerintah atas Blok Mahakam, seperti yang ditegaskan Jero Wacik pada
10 Juli lalu, Wakil Presiden Senior Total E&P Asia Pasifik, Jean
Marie Guillermou terbang ke Jakarta untuk menemui Menteri ESDM Republik
Indonesia.
Kedatangan Guillermou menemui Jero
adalah untuk meminta kepastian perpanjangan Blok Mahakam. Padahal
Menteri ESDM sudah mengatakan sebuah kepastian sebelumnya, melalui
pernyataan 11 April 2013 lalu. Sebuah upaya melobi untuk mendesak?
Usai bertemu Jero, seakan sudah
menjadi pemilik Blok Mahakam, kepada pers Guillermou mengutarakan
sejumlah tawaran, termasuk mengatur untuk melibatkan Pertamina. Pertama,
ada masa transisi 5 tahun setelah 2017, agar TOTAL dapat mentransfer
pengetahuan dan keahlian mengoperasikan Blok Mahakam kepada Pertamina.
Jika skenario ini berjalan, TOTAL akan berada di Blok Mahakam hingga
2022.
Selama masa transisi, TOTAL memiliki
hak partisipasi di Blok Mahakam sebesar 35 persen dan porsi yang sama
untuk Inpex. Artinya, TEPI menawarkan participating interest sebesar 30
persen untuk Pertamina di Blok itu.
Guillermou menyebut, tak mudah
mengelola blok Mahakam. TOTAL telah berpengalaman mengoperasikan Blok
Mahakam selama 40 tahun. “Pengalaman ini tidak dapat digantikan hanya
dalam semalam.”
Atas tawaran yang dilontarkan TOTAL,
Jero menyatakan, pemerintah sedang mempertimbangkan proposal tersebut.
Rencana investasi US$7,3 miliar sebelum 2017, hak partisipasi 30 persen
kepada Pertamina, dan masa transisi pengelolaan selama 5 tahun setelah
kontrak berakhir 2017.
Berubah sikapkah Jero Wacik? Semoga
tidak. Pasalnya Jero tidak lupa dengan ketegasan yang dilontarkannya
pada 11 April lalu: “Daripada saya dicurigai cari dana kampanye, ya
sudah, biar diputuskan pemerintah baru. Biar mereka yang pusing.”
Yang jelas, niatan memperpanjang
kontrak TOTAL dan Inpex di Blok Mahakam sudah sejak awal ditentang keras
oleh berbagai kalangan. Perusahaan asing tak perlu lagi mengelola blok
itu dan menyerahkannya pada Pertamina. TOTAL bisa mengusahakan beberapa
blok Migas mereka yang lain di wilayah Indonesia.
Menteri Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) Dahlan Iskan mendukung, jika pemerintah menyerahkan blok tersebut
kepada perusahaan domestik. Bahkan, Dahlan ingin Blok Mahakam nantinya
100 persen dikuasai oleh Pertamina. Sebagai perusahaan migas nasional,
Pertamina pun telah menyatakan kesiapannya untuk mengambil alih Blok
Mahakam pasca 2017.
“Sebaiknya Pertamina diberi hak
pengelolaan 100 persen. Ini kan sesuai dengan keinginan masyarakat agar
Pertamina bisa menjadi kebanggaan bangsa,” ujar Dahlan.
Dahlan yakin Pertamina mampu dan punya
dana untuk mengelola sendiri blok tersebut. “Mereka bilang mampu. Jadi,
saya ingin meluruskan bahwa Pertamina itu mampu. Seperti yang kita
lihat di Blok West Madura Offshore (WMO) dan PT Pertamina Hulu Energi di Offshore North West Java (ONWJ)," katanya.
Memang pernyataan Jero bisa
menimbulkan spekulasi bahwa pemerintah condong akan kembali
memperpanjang kontrak TOTAL dan Inpex di Blok Mahakam. Pasalnya,
keputusan akhir tentang blok itu, memang ada Kementerian ESDM.
Kecenderungan itu, ditentang oleh
sejumlah tokoh intelektual, aktivis dan pemerhati masalah Migas. Bahkan
mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mendukung upaya Pertamina untuk
mengambilalih Blok Mahakam.
Sebuah petisi dikirimkan kepada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pertengahan Oktober 2011 lalu.
Petisi berjudul “Blok Mahakam untuk Rakyat” itu isinya meminta agar
Presiden tidak memperpanjang kontrak TEPI dan Inpex Corporation di Blok
Mahakam.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies
(IRESS) Marwan Batubara yang juga turut menandatangani petisi tersebut,
mengatakan, IRESS kembali mengulang permintaan kepada Presiden SBY
untuk segera menerbitkan Perpres. “Bahwa sejak 1 April 2017, Blok
Mahakam dikelola oleh Pertamina. Permintaan ini sangat rasional,
konstitusional, bermatrabat, pro-rakyat dan sesuai kepentingan bangsa,”
tandas dia.
Selain Marwan, sederet nama mendukung
petisi ini. Antara lain, Mochtar Pabottingi dari LIPI, H Muhammad Asdar
(Universitas Hasanudin Makassar); pengamat ekonomi dari The Institute for Development of Economics and Finance
(INDEF), Fadli Hasan; Direktur Econit Hendri Saparini; pengamat Migas
Kurtubi; dan Presiden Serikat Pekerja Migas Seluruh Indonesia, Faisal
Yusra.
Sementara pernyataan Guillermou ini
dianggap “pongah”. Proposal yang diajukan Guillermou itu seolah sedang
mengkampanyekan kehebatan TOTAL, sekaligus menyiratkan ketidakmampuan
Pertamina.
Komaidi Notonegoro, pengamat energi
ReforMiner Institute menilai TOTAL tidak berhak ngatur-ngatur,
mengajukan skenario tertentu yang mengintervensi Pemerintah agar
mendapatkan perpanjangan kontrak kerja sama pengembangan migas dari blok
di dalam negeri.
Pemberian kontrak kerja sama
pengembangan blok migas sepenuhnya kewenangan Pemerintah. “Sesuai dengan
regulasi, setiap kontrak blok migas yang habis maka mutlak menjadi
kewenangan Pemerintah untuk memutuskan selanjutnya akan dikembangkan
oleh siapa,” ujarnya di Jakarta, Rabu, 17 Juli.
Sikap TOTAL yang demikian, menurut
Marwan merupakan sikap yang pongah. “Siapa sebenarnya yang berkuasa
mengambil keputusan? Apakah TOTAL tidak sadar kalau Indonesia negara
berdaulat? Kok mengatur-atur komposisi pembagian saham segala. IRESS
bersama ribuan penandatangan Petisi Blok Mahakam untuk Rakyat,
menyatakan menolak dengan tegas proposal tersebut,” ujar dia.
Menurut Marwan, sejak 2007, TOTAL
telah puluhan kali mengajukan permintaan perpanjangan kontrak.
Permintaan ini lumrah dalam KKS Migas, tetapi itu juga sekaligus
menunjukkan bahwa Blok Mahakam masih menyimpan cadangan yang sangat
besar.
Sebaliknya, sejak 2008 Pertamina pun
telah berkali-kali pula meminta dengan hormat kepada Pemerintah untuk
mengelola Blok Mahakam. Bahkan, Pertamina pernah menawar saham Total
& Inpex secara business to business pada 2010.
Kata Marwan, dramatisasi situasi dan
rekayasa kondisi menjelang keputusan kontrak SDA bukanlah hal baru.
Beberapa alasan yang sering digunakan “menjustifikasi keputusan”
biasanya dikaitkan dengan lifting, penerimaan APBN, iklim investasi,
nilai investasi atau gugatan arbitrase.
Blok Cepu adalah salah satu contoh
kelamnya. Pada saat akan menyerahkan Blok Cepu kepada Exxon Maret 2006,
dalih yang dipakai antara lain gugatan arbitrase dan mendesaknya
peningkatkan lifting demi penerimaan APBN. Jika dikelola Exxon, Blok
Cepu akan berproduksi 165.000 barel per hari (bph) pada 2010 dan APBN
akan tertolong.
Ternyata hingga sekarang, produksi
Blok Cepu masih berkisar pada angka 25.000 bph. Terbukti pula,
penerimaan APBN pun tidak terganggu karena gagalnya produksi 165.000 bph
itu.
Yang pasti, agenda Exxon berjalan
mulus. Namun, keputusan tersebut telah meninggalkan luka yang mendalam:
perusahaan milik rakyat menjadi pecundang di negeri sendiri. Dirutnya
pun, Widya Purnama, dipecat karena terus berupaya agar Blok Cepu
dikelola Pertamina.
Lantas seperti apa kesiapan Pertamina
yang selalu dikampanyekan kerdil dan tak mampu untuk mengambil alih Blok
Mahakam? Dalam acara berbuka puasa dengan pemimpin redaksi di Jakarta,
Rabu malam (17/07), Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen
Agustiawan kembali menegaskan, Pertamina siap mengelola Blok Mahakam
saat kontrak blok tersebut selesai pada tahun 2017.
“Pertamina dengan pengalaman mengelola
gas selama ini tentu saja tidak masalah dengan pengelolaan Blok
Mahakam. Pertamina bahkan kini menjadi tempat bagi perusahaan gas dari
Irak, Aljazair dan Angola untuk belajar bagaimana mengelola sumber gas,”
ujarnya.
Akan tetapi, tambah Karen, Pertamina
belum akan masuk ke Blok Mahakam pada saat ini karena perlu mengeluarkan
modal untuk penguasaan. “Pertamina menunggu saja sampai kontrak selesai
pada 2017, sehingga tidak perlu bagi Pertamina mengeluarkan dana untuk
mengelola Blok Mahakam,” ujar Karen.
Karen berharap pemerintah
mempertimbangkan kesiapan dan kemampuan Pertamina. Pertamina
berpengalaman mengelola gas sejak dibangunnya Proyek LGN Arun di Aceh
pada tahun 1974. Produksi gas di LNG Arun berakhir pada tahun 2014.
Sejumlah fasilitas gas di sana dialihkan fungsinya menjadi pusat
penampungan gas yang selanjutnya akan diteruskan ke berbagai keperluan
industri dan penggunaan lainnya seperti PT PLN.
0 komentar:
Posting Komentar