Metoda geolistrik terdiri dari beberapa konfigurasi, misalnya yang ke
4 buah elektrodanya terletak dalam satu garis lurus dengan posisi
elektroda AB dan MN yang simetris terhadap titik pusat pada kedua sisi
yaitu konfigurasi Wenner dan Schlumberger. Setiap konfigurasi mempunyai
metoda perhitungan tersendiri untuk mengetahui nilai ketebalan dan
tahanan jenis batuan di bawah permukaan. Metoda geolistrik konfigurasi
Schlumberger merupakan metoda favorit yang banyak digunakan untuk
mengetahui karakteristik lapisan batuan bawah permukaan dengan biaya
survei yang relatif murah.
Umumnya lapisan batuan tidak mempunyai sifat homogen sempurna,
seperti yang dipersyaratkan pada pengukuran geolistrik. Untuk posisi
lapisan batuan yang terletak dekat dengan permukaan tanah akan sangat
berpengaruh terhadap hasil pengukuran tegangan dan ini akan membuat data
geolistrik menjadi menyimpang dari nilai sebenarnya. Yang dapat
mempengaruhi homogenitas lapisan batuan adalah fragmen batuan lain yang
menyisip pada lapisan, faktor ketidakseragaman dari pelapukan batuan
induk, material yang terkandung pada jalan, genangan air setempat,
perpipaan dari bahan logam yang bisa menghantar arus listrik, pagar
kawat yang terhubung ke tanah dsbnya.
‘Spontaneous Potential’ yaitu tegangan listrik alami yang umumnya
terdapat pada lapisan batuan disebabkan oleh adanya larutan penghantar
yang secara kimiawi menimbulkan perbedaan tegangan pada mineral-mineral
dari lapisan batuan yang berbeda juga akan menyebabkan ketidak-homogenan
lapisan batuan. Perbedaan tegangan listrik ini umumnya relatif kecil,
tetapi bila digunakan konfigurasi Schlumberger dengan jarak elektroda AB
yang panjang dan jarak MN yang relatif pendek, maka ada kemungkinan
tegangan listrik alami tersebut ikut menyumbang pada hasil pengukuran
tegangan listrik pada elektroda MN, sehingga data yang terukur menjadi
kurang benar.
Untuk mengatasi adanya tegangan listrik alami ini hendaknya sebelum
dilakukan pengaliran arus listrik, multimeter diset pada tegangan
listrik alami tersebut dan kedudukan awal dari multimeter dibuat menjadi
nol. Dengan demikian alat ukur multimeter akan menunjukkan tegangan
listrik yang benar-benar diakibatkan oleh pengiriman arus pada elektroda
AB. Multimeter yang mempunyai fasilitas seperti ini hanya terdapat pada
multimeter dengan akurasi tinggi.
Konfigurasi Wenner
Konfigurasi Wenner
Keunggulan dari konfigurasi Wenner ini adalah ketelitian pembacaan
tegangan pada elektroda MN lebih baik dengan angka yang relatif besar
karena elektroda MN yang relatif dekat dengan elektroda AB. Disini bisa
digunakan alat ukur multimeter dengan impedansi yang relatif lebih
kecil.
Sedangkan kelemahannya adalah tidak bisa mendeteksi homogenitas
batuan di dekat permukaan yang bisa berpengaruh terhadap hasil
perhitungan. Data yang didapat dari cara konfigurasi Wenner, sangat
sulit untuk menghilangkan factor non homogenitas batuan, sehingga hasil
perhitungan menjadi kurang akurat.
Konfigurasi Schlumberger
Pada konfigurasi Schlumberger idealnya jarak MN dibuat
sekecil-kecilnya, sehingga jarak MN secara teoritis tidak berubah.
Tetapi karena keterbatasan kepekaan alat ukur, maka ketika jarak AB
sudah relatif besar maka jarak MN hendaknya dirubah. Perubahan jarak MN
hendaknya tidak lebih besar dari 1/5 jarak AB.
Konfigurasi Schlumberger
Kelemahan dari konfigurasi Schlumberger ini adalah pembacaan tegangan
pada elektroda MN adalah lebih kecil terutama ketika jarak AB yang
relatif jauh, sehingga diperlukan alat ukur multimeter yang mempunyai
karakteristik ‘high impedance’ dengan akurasi tinggi yaitu yang bisa
mendisplay tegangan minimal 4 digit atau 2 digit di belakang koma. Atau
dengan cara lain diperlukan peralatan pengirim arus yang mempunyai
tegangan listrik DC yang sangat tinggi.
Sedangkan keunggulan konfigurasi Schlumberger ini adalah kemampuan
untuk mendeteksi adanya non-homogenitas lapisan batuan pada permukaan,
yaitu dengan membandingkan nilai resistivitas semu ketika terjadi
perubahan jarak elektroda MN/2.
Agar pembacaan tegangan pada elektroda MN bisa dipercaya, maka ketika
jarak AB relatif besar hendaknya jarak elektroda MN juga diperbesar.
Pertimbangan perubahan jarak elektroda MN terhadap jarak elektroda AB
yaitu ketika pembacaan tegangan listrik pada multimeter sudah demikian
kecil, misalnya 1.0 milliVolt.
Umumnya perubahan jarak MN bisa dilakukan bila telah tercapai
perbandingan antara jarak MN berbanding jarak AB = 1 : 20. Perbandingan
yang lebih kecil misalnya 1 : 50 bisa dilakukan bila mempunyai alat
utama pengirim arus yang mempunyai keluaran tegangan listrik DC sangat
besar, katakanlah 1000 Volt atau lebih, sehingga beda tegangan yang
terukur pada elektroda MN tidak lebih kecil dari 1.0 milliVolt.
Parameter yang diukur :
- Jarak antara stasiun dengan elektroda-elektroda (AB/2 dan MN/2)
- Arus (I)
- Beda Potensial (∆ V)
Parameter yang dihitung :
- Tahanan jenis (R)
- Faktor geometrik (K)
- Tahanan jenis semu (ρ )
Cara intepretasi
Schlumberger adalah dengan metode penyamaan kuva (kurva
matching). Ada 3 (tiga) macam kurva yang perlu diperhatikan dalam intepretasi
Schlumberger dengan metode penyamaan kurva, yaitu :
- Kurva Baku
- Kurva Bantu, terdiri dari tipe H, A, K dan Q
- Kurva Lapangan
Untuk mengetahui jenis kurva bantu yang akan dipakai, perlu diketahui bentuk umum masing-masing kurva lapangannya.
- Kurva bantu H, menunjukan harga ρ minimum dan adanya variasi 3 lapisan dengan ρ1 > ρ2 < ρ3.
- Kurva bantu A, menunjukkan pertambahan harga ρ dan variasi lapisan dengan ρ1 < ρ2 < ρ3.
- Kurva bantu, K menunjukan harga ρ maksimum dan variasi lapisan dengan ρ1 < ρ2 > ρ3.
- Kurva bantu Q, menunjukan penurunan harga ρ yang seragam : ρ1 > ρ2 > ρ3
Kurva-Kurva Bantu Dalam Metode Penyamaan Kurva Schlumberger
Alat-alat yang digunakan : kertas kalkir/mika plastik, kertas
double log, marker OHP.
- Plot nilai AB/2 vs ρ pada mika plastik diatas double log. AB/2 sebagai absis dan ρ sebagai ordinat.
- Buat kurva lapangan dari titik-titik tersebut secara smooth (tidak selalu harus melalui titik-titik tersebut, untuk itu perlu dilihat penyebaran titik-titiknya secara keseluruhan).
- Pilih kurva Bantu apa saja yang sesuai dengan setiap bentukan kurva lapangan.
- Letakkan kurva lapangan diatas kurva baku, cari nilai P1 merupakan kedudukan :
- d1’,ρ1’ (kedalaman terukur, tahanan jenis terukur)
- d1’ = kedalaman lapisan perama = sebagai absis
- ρ1 = tahanan jenis lapisan pertama = sebagai ordinat
- Pindahlah kurva lapangan dan letakkan diatas tipe kurva Bantu
pertama yang telah ditentukan. Tarik garis putus-putus sesuai dengan
harga ρ1/ρ2 pada kurva Bantu tersebut. Garis putus-putus sebagai kurva Bantu ini merupakan tempat kedudukan P2.
- Kembalikan kurva lapangan diatas kurva baku, geser kurva lapangan
berikutnya sedemikian sehingga kurva baku pertama melalui pusat kurva
baku. Tentukan nilai ρ3/ρ2 serta plot titik P2. (catatan : posisi sumbu-sumbunya harus sejajar dengan sumbu-sumbu pada kurva Bantu)
- Dari P2 dapat ditentukan d2’, ρ2’
- Titik pusat P3, koordinat d3’, ρ3’ dan nilai kurva Bantu selanjutnya dapat dicari dengan jalan yang sama.
Koreksi Kedalaman
Untuk titik-titik pusat (Pn) yang terletak pada kurva bantu tipe H, tidak perlu dikoreksi.
Titik P pada kurva Bantu tipe A, K dan Q perlu dikoreksi.
Titik P
1 apapun kurvanya tidak perlu dikoreksi.
Contoh Kurva Bantu
Titik P
1, tidak perlu dikoreksi
Titik P
2, tidak perlu dikoreksi karena terletakpada kurva Bantu tipe H
Titik P
3 dan P
4, perlu dikoreks nilai d (kedalaman), karena terletak pada kurva Bantu selain tipe H.
Cara Koreksi Kedalaman
Untuk titik P
3 :
Letakkan/impitkan kembali mika plastik diatas kurva Bantu tipe A (dengan nilai ρ
4/ρ
3 = 10) dengan pusat P
2. baca nilai koreksi (sebagai n) tepat pada titik P
3
(nilai absis dari kurva Bantu tersebut ditandai dengan garis
putus-putus). Kemudian dapat dicari ketebalan lapisan ke-3 dengan rumus :
H
3 = n.d
2
Sehingga kedalaman lapisan ke-3 dapat dihitung dengan rumus:
D
3 = h
3 + d
2
Demikian juga untuk titik P
4, dan seterusnya.
Jadi, dari hasil penyamaan kurva (
curve matching) akan diperoleh data sebagai berikut :
- Koordinat Pn = (dn’, ρn)
- Kn = ρn+1/ρn
- Jenis Kurva Bantu
- Nilai Koreksi Kedalaman (n)
Setelah diperoleh nilai-nilai ρ dan d, kemudian dibuat penampang
tegaknya (berupa kolom) sesuai harga d-nya (menggunakan skala).
Selanjutnya dilakukan pendugaan unt interpretasi litologi penyusun pada
masing-masing lapisan berdasarkan nilai ρ.
Penafsiran litologi ini akan semakin mendekati kebenaran apabila kita
memiliki data bawah permukaan seperti data dari sumur. Jika tidak ada
sumur, maka kita sebaiknya mengetahui geologi regional daerah penelitian
tersebut atau data yang diperoleh dari pengamatan geologi daerah
sekitar (untuk mengetahui variasi litologi).