Minggu, 25 Mei 2014
PKP2B HISTORY
10.12
bro
No comments
Pada suatu ketika, di awal decade 70-an, dunia dicekam ketegangan.
Perang menjalar di Timur Tengah. Negara – Negara Arab menyerang Israel
dan terjadilah krisis minyak Presiden Soeharto, waktu itu, memandang
bahwa batu bara layak menjadi sumber energi alternatif. Ia pun
menginstruksikan para menteri untuk mengembangkan batu bara. Pada 1980,
pemerintah RI mengundang kalangan investor dunia untuk pengembangan
potensi batu bara di Kalimantan dan Sumatra. Para investor asing itulah
yang kemudian menjadi kontraktor pengembangan batu bara di bawah naungan
Perjanjian Karya Pengusaha Batubara (PKP2B) generasi pertama.
PKP2B
generasi pertama diteken antara kurun 1981 hingga 1990. Tercatat, ada
11 perusahaan pertambangan yang dibentuk untuk menjalankan kontrak itu.
Volume produksi batu bara dari para kontraktor PKP2B generasi pertama
itu amat besar. Hingga saat ini, pemerintah sudah meneken 376 kontrak
pertambangan batu bara. Ada 141 kontrak PKP2B dari generasi I hingga
VII. Volume produksi kontraktor PKP2B generasi pertama tercatat
menyumbang 75% dari seluruh total produksi.
Para pemain pertama
itu memang mendapat banyak keuntungan. Semua kontraktor PKP2B generasi
pertama, misalnya mendapat ketentuan system perpajakan yang telah tetap.
Jadi sepanjang masa kontraknya, perusahaan tidak terkena aturan pajak
baru. Jika ada pajak baru yang tidak tercatat dalam kontrak, maka
pemerintah akan me-reimburse nilai yang sama pada kontraktor.
Pada
tahun 2005, Mentri Keuangan merilis peraturan No 95 tentang pungutan
ekspor batu bara – untuk meningkatkan pasokan batu bara ke pasar
domestik. Nyatanya, beleid itu tidak efektif. Para kontraktor PKP2B
generasi I tidak terkena aturan baru itu. Padahal 75% produksi batu bara
berada di tangan mereka. Alhasil, pungutan ekspor yang didapat sangat
minim.
Pada tahun 1983, lahir UU tentang pajak pertambahan nilai
(PPN). Karena PPN lahir setelah sejumlah PKP2B diberlakukan, maka PPN
juga tidak masuk dalam kewajiban kontraktor PKP2B generasi pertama.
Kalau PPN itu dibayar oleh perusahaan PKP2B, pemerintah wajib mengganti.
Enak nian, memang.
Belakangan, mekanisme pengembalian itu
tersendat. Dari situlah, konflik antara konraktor PKP2B generasi pertama
dengan Lapangan Banteng Berkobar.
Saat ini, perusahaan –
perusahaan PKP2B generasi pertama sudah tidak lagi merupakan perusahaan
asing. Sesuai kontrak PKP2B itu pula, asing-asing tadi memang harus
menjual sahamnya ke perusahaan domestic dalam kurun tertentu setelah
kontrak berjalan. Di saat harga batu bara mahal seperti saat ini,
kontrak PKP2B generasi pertama itu sekarang telah berhasil menjadikan
para pemilik barunya masuk dalam daftar orang-orang terkaya di negeri
ini. Mungkin ini yang membuat mereka terlihat begitu pede ketika harus
berhadapan dengan para pejabat Departemen Keuangan.
Kesebelasan Pertama Itu
1. PT KALTIM PRIMA COAL (KPC)
Awalnya, KPC merupakan perusahaan patungan milik Rio Tinto Australia (50%) dan British Petroleum
(50%) dari Inggris. KPC adalah operator batu bara terbesar di
Indonesia. Kegiatan produksi secara komersial di KPC dimulai pada tahun
1991. setelah itu KPC sanggup memproduksi batu bara secara stabil di
level stabil 15 juta metric ton per tahun. Kini, KPC berada di bawah
kepemilikan PT Bumi Resources, unit usaha kelompok Bakrie. Pada tahun
2007 silam produksi KPC mencapai 50 juta metric ton.
2. PT ARUTMIN INDONESIA
Sejak
awal kelompok Bakrie terlibat di Arutmin. Perusahaan ini tadinya
merupakan hasil; kongsi antara Bakrie (20%) dengan BHP Minerals
Australia (80%). Arutmin mengoperasikan dua tambang terbuka di
Kalimantan Selantan. Arutmin bias memproduksi 19 juta metric ton batu
bara setiap tahun. Kini, Arutmin juga sepenuhnya berada di bawah naungan
PT Bumi resource.
3. PT ADARO INDONESIA
Perusahaan
ini sekarang dimiliki PT Adaro Energy. Awalnya, Adaro dimiliki oleh New
Hope Corporation Australia (50%), PT Asminco Bara Utama Indonesia
(40%), dan Mission Energy Amerika (10%). Adaro memiliki sumber daya batu
bara sekitar 2,803 milliar ton-separuhnya merupakan cadangan. Saat ini,
produksi tahunan Adaro sekitar 40 juta ton- nyaris setara dengan 20 %
produksi nasional yang, sepanjang tahun 2007, mencapai 205 juta ton.
Adaro
pernah dilaporkan melakukan transfer pricing pajak. Selain itu, Adaro
punya kasus sengketa saham dengan Beckett Pte. Ltd. gara-gara kredit
yang diberikan Deutsche Bank sebesar US$ 100 juta kepada Asminco.
Pemilik Asminco adalah PT Swabara Mining energy. Beckett adalah pemilik
utama Swabara. Asmingo mengalami gagal bayar dan Deutsche Bank
mengeksekusi jaminan utang asminco di Adaro dan IBT kepada pemilik Adaro
sekarang, seharga US$ 46 juta. Syahdan, penjualan itu dilakukan secara
diam-diam dan harganya kemurahan.
4. PT BERAU COAL
PT Berau Coal saat ini berada di tangan kendali PT Armadaian Tritunggal (51%)- milik Rizal Risjad (anak Ibrahim Risjad). Selain itu, ada juga Rognar holding BV Belanda (39%), dan Sojitc Corp dari Jepang. Tadinya, Berau dimiliki oleh United Tractors (60%), PT Pandua Dian Pertiwi (20%), dan Nissho Iwai (20%).
Berau
memiliki tiga lokasi tambang di kabupaten Berau, Kalimantan Timur,
yaitu Lati, Binungan, dan Sambrata. Berau memegang Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan pemerintah Indonesia
atas konsesi sekitar 118 ribu hectare (ha) dengan lahan produksi 40 ribu
ha. Tahun ini perusahaan menargetkan produksi 15 juta metric ton batu
bara setelah tahun lalu mebukukan 12,5 juta ton.
5. PT KIDECO JAYA AGUNG
Saat ini, Kideco adalah andalan utama PT Indika Energy ( milik keluarga Sudwikatmono). Tadinya, seluruh saham Kideco dimiliki Samtan Co. Ltd.
Dari Korea Selatan. Di tahun 2008, Kideco menargetkan volume penjualan
sebesar 22 juta metric ton dengan perkiraan harga rata-rata antara US$
45-48 per ton. Tahun depan, Kideco berniat menggenjot produksi hingga 30
juta metric ton.
6. PT ALLIED INDO COAL (AIC)
Perusahaan
ini merupakan hasil patungan antara keluarga Thohir dengan keluarga
Salway. Tapi, kini, keluarga Thohir menguasai sepenuhnya perusahaan
pertambangan yang beroperasi sejak 1987 di Sumatra Barat itu. AIC setiap
tahunntya sanggup memproduksi sekitar 2 juta metric ton batu bara. Pada
tahun 2005, Allied sempat membayar tunggakan restitusi senilai Rp 4,2
milliar atau 21% dari jumlah tunggakannya saat itu.
7. PT MULTI HARAPAN UTAMA (MHU)
New
Hope tadinya memiliki 40% saham MHU. Lalu, ada Asminco Bara Utama (10%)
dan kelompok Risjad (40%). Perusahaan ini berbasis di Busang,
Kalimantan Timur, dengan cadangan potensial sekitar 126 juta metric ton.
Setiap tahun, MHU memproduksi sekitar 1,6 juta metric ton batu bara.
Kini, pemilik MHU meliputi pihak Australia (40%), PT Agrarizki Media
(37,5%), Ibrahim Risjad (12,5%), dan PT Asmin Pembangunan Pratama (10%).
8. PT TANITO HARUM
Sejak
awal, PT Tanito Harum adalah perusahaan local. Setiap tahun, perusahaan
ini sanggup memproduksi sekitar sejuta metric ton batu bara. Pada 2005,
PT Tanito Harum sudah melunasi tunggakan royaltinya senilai US$ 4,4
juta.
9.PT BHP KENDILO COAL INDONESIA
PT BHP
Kendilo Coal Indonesia didirikan sebagai perusahaan patungan antara BHP
(80%) dan Mitsui (20%). Kendilo beroperasi di Petangis dan Rindu, di
Kalimantan Timur. Kini, BHP Kendilo sudah tak lagi beroperasi. Tapi,
tunggakan royalty dikabarkan cukup besar.
10.PT INDOMINCO MANDIRI
Awalnya,
PT Indominco Mandiri sepenuhnya dimiliki Kelompok Salim. Indominco
mampu memproduksi 1,5 juta metric ton batu bara setiap tahunnya. Kini
35% saham Indominco dimiliki Banpu Public Limited asal Thailand.
Sebanyak 35% lagi dikuasai oleh PT Indo Tambangraya Megah Tbk.
11. PT CHUNG HUA MINING DEVELOPMENT
Sejak awal, Chung Hua dinilai tak sanggup melaksanakan kontrak sehingga izin PKP2B nya diputus.
0 komentar:
Posting Komentar