1. UMUM
Sumber daya alam yang meliputi vegetasi, tanah, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya merupakan salah satu modal dasar dalam
pembangunan nasional, oleh karena itu harus dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dan kepentingan pembangunan
nasional dengan memperhatikan kelestariannya.
Salah satu kegiatan dalam memanfaatkan sumberdaya alam tersebut alah
kegiatan pertambangan bahan galian yang hingga saat ini merupakan salah
satu sektor penyumbangan devisa negara yang terbesar. Akan tetapi
kegiatan pertambangan apabila tidak dilaksanakan secara tepat dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan yang cukup besar antara
lain berupa :
- Penurunan produktivitas tanah.
- Terjadinya erosi dan sedimentasi.
- Terjadinya gerakan tanah/ longsoran.
- Gangguan terhadap flora dan fauna.
- Perubahan iklim mikro.
- Permasalahan sosial.
Dampak negatif usaha pertambangan terhadap lingkungan tersebut perlu
dikendalikan untuk mencegah kerusakan lingkungan di luar batas
kewajaran.
Prinsip dasar kegiatan reklamasi adalah bahwa :
a. Kegiatan reklamasi harus dianggap sebagai kesatuan yang utuh (“holistic”) dari kegiatan penambangan.
b.Kegiatan reklamasi harus dilakukan sedini mungkin dan tidak harus
menunggu proses penambangan secara keseluruhan selesai dilakukan.
2. DEFINISI
a. Penambangan ialah kegiatan untuk menghasilkan bahan galian yang
dilakukan baik secara manual maupun mekanis yang meliputi pemberaian,
pemuatan, pengangkutan dan penimbunan.
b. Tambang permukaan ialah usaha penambangan dan penggalian bahan galian
yang kegiatannya dilakukan langsung berhubungan dengan udara terbuka.
c. Reklamasi ialah usaha memperbaiki (memulihkan kembali) lahan yang
rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi
secara optimal sesuai dengan kemampuan.
d. Restorasi lahan bekas tambang ialah upaya mengembalikan fungsi lahan bekas tambang menjadi seperti keadaan semula.
e. Rehabilitas lahan ialah usaha memperbaiki, memulihkan kembali dan
meningkatkan kondisi lahan yang rusak (kritis), agar dapat berfungsi
secara optimal, baik sebagai unsur produksi, media pengatur tata air,
maupun sebagai unsur perlindungan alam lingkungan.
f. Rehabilitas lahan dan konservasi tanah (RLKT) ialah usaha memperbaiki
(memulihkan), meningkatkan dan mempertahankan kondisi lahan agar dapat
berfungsi secara optimal, baik sebagai unsur produksi, media pengatur
tata air maupun sebagai unsur perlindungan alam lingkungan.
g. Batuan limbah adalah batuan yang tergali dalam proses panambangan
tetapi tidak diolah karena tidak atau sedikit mengandung mineral yang
dikehendaki.
h. Tailing adalah bahan hasil dari proses pengolahan bahan galian yang tidak mengandung nilai ekonomis lagi.
i. Bahan pembentuk asam ialah bahan yang jika berhubungan dengan air dan udara dapat membentuk asam.
j. Revegetasi ialah usaha /kegiatan penanaman kembali pada lahan bekas tambang.
k. Kerusakan lingkungan ialah penurunan kualitas lingkungan sebagai
akibat kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam, melebihi kemampuan
tanpa memperhatikan kelestariannya.
l. Pencemaran lingkungan ialah perubahan kualitas lingkungan sebagai
akibat adanya zat beracun baik beru[pa bahan padat, cair maupun gas.
3. DASAR HUKUM
Upaya pengendalian dampak negatif kegiatan pertambangan terhadap
lingkungan hidup dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan
sebagai berikut :
a. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengolahan Lingkungan Hidup.
c. Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tantang Penataan Ruang.
d. Mijn Politie Reglement (MPR Stbl 1930 No. 341).
e. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
g. Intruksi Presiden R.I No. 1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi
Pelaksanaan Tugas Bidang Keagrariaan dengan Bidang Kehutanan,
Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum.
h. SKB Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri kehutanan Nomor : 996
K/05/M. PE/1969 tentang Pedoman Pengaturan Pelaksanaan Undang-undang
No. 429/K.pts. II/1939 Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan.
i. SKB menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor :
1101. K/702/M. PE/1991 tentang Pembentukan Team koordinasi
36/Kpts.II/1991
Tetap Departemen Pertambangan dan Energi dan Departemen Kehutanan dan
perubahan Tatacara Pengajuan Izin Usaha Pertambangan dan Energi dalam
Kawasan Hutan.
j. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.0185.K/008/M.PE/1988
tentang Pedomanan Teknis Penyusunan Penyajian Informasi Lingkungan,
Analisis Dampak Lingkungan untuk Kegiatan di Bidang Pertambangan Umum
dan Bidang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan Sumberdaya Panas Bumi.
k. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1158.K/008/M.PE/1989
tentang Ketentuan Pelaksanaan Analsis Dampak Lingkungan dalam Usaha
Pertambangan dan Energi.
l. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1211.K/008/M/PE/1995
tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kerusakan dan Pencemaran
Lingkungan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum.
4. PERENCANAAN REKLAMASI
Untuk melaksanakan reklamasi diperlukan perencanaan yang baik, agar
dalam pelaksanaannyadapat tercapai sasaran sesuai yang dikehendaki.
Dalam hal ini reklamasi harus disesuaikan dengan tata ruang. Perencanaan
reklamasi harus sudah disiapkan sebelum melakukan operasi penambangan
dan merupakan program yang terpadu dalam kegiatan operasi penambangan.
Hal-hal yang harus diperhatikan di dalam perencanaan reklamasi adalah
sebagai berikut :
a. Mempersiapkan rencana reklamasi sebelum pelaksanaan penambangan.
b. Luas areal yang direklamasi sama dengan luas areal penambangan.
c. Memeindahkan dan menempatkantanah pucuk pada tempat tertentu dan mengatur sedemikian rupa untuk keperluan vegetasi.
d. Mengembalikan/memperbaiki kandungan (kadar) bahan beracun sampai
tingkat yang aman sebelum dapat dibuang ke suatu tempat pembuangan.
e. Mengembalikan lahan seperti keadaan semula dan/atau sesuai dengan tujuan penggunaannya.
f. Memperkecil erosi selama dan setelah proses reklamasi.
g. Memindahkan semua peralatan yang tidak digunakan lagi dalam aktivitas penambangan.
h. Permukaan yang padat harus digemburkan namun bila tidak memungkinkan
untuk agar ditanami dengan tanaman pionir yang akarnya mampu menembus
tanah yang keras.
i. Setelah penambangan maka pada lahan bekas tambang yang diperuntukan
bagi vegetasi, segera dilakukan penanaman kembali dengan jenis tanaman
yang sesuai dengan rencana rehabilitasi.
j. Mencegah masuknya hama dan gulma berbahaya, dan
k. Memeantau dan mengelola areal reklamasi sesuai dengan kondisi yang diharapkan.
4.1 PEMERIAN LAHAN
Pemerian lahan pertambangan merupakan hal yang terpenting untuk
merencanakan jenis perlakuan dalam kegiatan reklamasi. Jenis perlakuan
reklamasi dipengaruhi oleh berbagai faktor utama :
1. Kondisi Iklim,
2. Geologi,
3. Jenis Tanah,
4. Bentuk Alam,
5. Air permukaan dan air tanah,
6. Flora dan Fauna,
7. Penggunaan lahan,
8. Tata ruang dan lain-lain.
Untuk memperoleh data dimaksud diperlukan suatu penelitian lapangan.
Dari berbagai faktor tersebut di atas, kondisi iklim terutama curah
hujan dan jenis tanah merupakan faktor yang terpenting.
4.2 PEMETAAN
Rencana operasi penambangan yang sudah memperhatikan upaya reklamasi
atau sebaliknya dengan sendirinya akan saling mendukung dalam
pelaksanaan kedua kegiatan tersebut. Rencana (tahapan pelaksanaan) tapak
reklamasi ditetapkan sesuai dengan kondisi setempat dan rencana
kemajuan penambangan. Rencana tahap reklamasi tersebut dilengkapi degan
peta skala 1 : 1000 atau skala lainnya yang disetujui, disertai
gambar-gambar teknis bangunan reklamasi. Selanjutnya peta tersebut
dilengkapi dengan peta indeks dengan skala memadai.
Di dalam peta tersebut digambarkan situasi penambangan dan lingkungan,
misalnya kemajuan penambangan, timbunan tanah penutup, timbunan terak
(slag), penyimpanan sementara tanah pucuk, kolam pengendap, kolam
persediaan air, pemukiman, sungai jembatan, jalan, revegetasi, dan
sebagainya serta mencantumkan tanggal situasi/ pembuatannya.
4.3 PERALTAN YANG DIGUNAKAN
Untuk menunjang keberhasilan reklamasi biasanya digunakan peralatan dan
sarana prasarana, antara lain :”Dump Truck”, Bulldozer, excavator,
traktor, tugal, back hoe, sekop, cangkul, bangunan pengendali erosi (a.l
: susunan karung pasir, tanggul, susunan jerami, bronjong, pagar
keliling), beton pelat baja untuk menghindari kecelakaan dan lain-lain.
5. PELAKSANAAN REKLAMASI
Kegiatan pelaksanaan reklamasi harus segera dimulai sesuai dengan
rencana tahunan pengelolaan lingkungan (RTKL) yang telah disetujui dan
harus sudah selesai pada waktu yang telah ditetapkan. Dalam melaksanakan
kegiatan reklamasi, perusahaan pertambangan bertanggung jawab sampai
kondisi/rona akhir yang telah disepakati tercapai.
Setiap lokasi penambangan mempunyai kondisi tertentu yang mempengaruhi
pelaksanaan reklamasi. Pelaksanaan reklamasi umumnya merupakan gabungan
dari pekerjaan teknik sipil dan teknik vegetasi. Pekerjaan teknik sipil
meliputi : pembuatan teras, saluran pembuangan akhir (SPA), bangunan
pengendali lereng, check dam, penengkap oli bekas (“oil cather”) dan
lain-lain yang disesuaikan dengan kondisi setempat.
Pekerjaan teknik vegetasi meliputi : pola tanam, sistem penanaman
(“monokultur, multiple croping”), jenis tanaman yang disesuaikan kondisi
setempat, “cover crop” (tanaman penutup) dan lain-lain. Pelaksanaan
reklamasi lahan meliputi kegiatan sebagai berikut :
a) Persiapan lahan yang berupa pengamanan lahan bekas tambang,
pengaturan bentuk tambang (“landscaping”), pengaturan/penempatan bahan
tambang kadar rendah (“low Grade”) yang belum dimanfaatkan.
b) Pengendalian erosi dan sedimentasi.
c) Pengelolaan tanah pucuk (“top soil”)
d) Revegatasi (penanaman kembali) dan/atau pemanfaatan lahan bekas tambang untuk tujuan lainnya.
Mengingat sifat lahannya dan kegaitannya yang memerlukan penjelasan
rinci, maka kegiatan pelaksanaan reklamasi di atas, dalam Bab III ini
juga dijelaskan mengenai pelaksanaan reklamasi khusus, reklamasi pada
infrastruktur dan reklamasi lahan bekas tambang.
5.1 PERSIAPAN LAHAN
1. Pengamatan Lahan Bekas Tambang
Kegiatan ini meliputi :
a. Pemindahan/pembersihan seluruh peralatan dan prasarana yang tidak digunakan di lahan yang akan direklamasi,
b. Perencanaan secara tepat lokasi pembuangan sampah/limbah beracun dan
berbahaya dengan perlakuan khusus agar tidak mencemari lingkungan,
c. Pembuangan atau penguburan potongan beton dan “scrap” pada tempat khusus,
d. Penutupan lubang bukaan tambang secara aman dan permanen,
e. Melarang atau menutup jalan masuk ke lahan bekas tambang yang akan direklamasi.
2. Pengaturan Bentuk Lahan
Pengaturan bentuk lahan disesuaikan dengan kondisi topografi dan hidrologi setempat. Krgiatan ini meliputi :
a. Pengaturan bentuk lereng
- Pengaturan bentuk lereng dimaksud untuk mengurangi kecepatan air limpasan (“run off”), erosi dan sedimentasi serta longsor,s
- Lereng jangan terlalu tinggi atau terjal dan dibentuk berters-teras
sebagaimana terlihat pada gambar 3.1. Bentuk teras lainnya dapat dilihat
pada gambar 3.2, 3.3, 3.4, 3.5, 3.6, 3.7, 3.8, 3.9, dan 3.10.
b. Pengaturan saluran pembuangan air
- Pengaturan saluran pembuangan air (SPA) dimaksudkan untuk mengatur
air agar mengalir pada tempat tertentu dan dapat mengurangi kerusakan
lahan akibat erosi.
- Jumlah/kerapatan dan bentuk SPA tergantung dari bentuk lahan
(topografi) dan luas areal yang direklamasi. Macam dan bentuk SPA
digambarkan pada gambar 3.11, sedangkan penampang SPA digambarkan pada
gambar 3.12.
3. Pengaturan/Penempatan Low Grade
Maksud pengaturan dan penempatan “low garde” (bahan tambang yang
mempunyai nilai ekonomis rendah) adalah agar bahan tambang tersebut
tidak tererosi/hilang apabila ditimbun dalam waktu yang lama karena
dapat dimanfaatkan. Pengaturan bentuk timbunan low grade terlihat pada
gambar 3.13.
5.2 PENGENDALIAN EROSI DAN SEDIMENTASI
Pengendalian erosi meruoakan hal yang mutlak dilakukan selama kegiatan
penambangan dan setelah penambangan. Erosi dapat mengakibatkan
berkurangnya kesuburan tanah, terjadinya endapan lumpur dan sedimentasi
di alur-alur sungai. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya erosi
oleh air adalah : curah hujan, kemiringan lereng (topografi), jenis
tanah, tata guna tanah (perlakuan terhadap tanah) dan tanaman penutup
tanah.
Beberapa cara untuk mengendalikan erosi dan air limpasan adalah sebagai berikut :
1. Meminimasikan areal terganggu dengan ;
- Membuat rencana detail kegiatan penambangan dan rekalmasi,
- Membuat batas-batas yang jelas areal tahapan penambangan,
- Penebangan pohon sebatas areal yang akan dilakukan penambangan,
- Pengawasan yang ketat pada pelaksanaan penebangan pepohonan
2. Membatasi/mengurangi kecepatan air limpasan dengan :
- Pembuatan teras-teras (gambar 3.2, 3.3, 3.4, 3.5, 3.6, 3.7, 3.8, 3.9)
- Pembuatan saluran diversi (pengelak)
- Pembuatan SPA (gambar 3.11, 3.12)
- Dam pengendali (gambar 3.18, 3.19, 3.20, 3.21)
3. Meningkatkan infiltrasi (peresapan air tanah)
- Dengan penggaruan tanah searah kontur,
- Akibat penggaruan, tanah menjadi gembur dan volume tanah meningkat sebagai media perakaran tanah,
- Pembuatan lubang-lubang tanaman, pendangiran, dll.
4. Pengelolaan air yang keluar dari lokasi penambangan
- Penyaluran air dari lokasi tambang ke perairan umum harus sesuai
dengan perlakuan yang berlaku dan harus di dalam wilayah Kuasa Tambang,
- Membuat bendungan sedimen untuk menampung air yang banyak mengandu8ng sedimen,
- Bila curah hujan tinggi perlu dibuat bendungan yang kuat dan permanen yang dilengkapi dengan saluran pengelak,
- Letak bendungan ditempatkan sedemikian sehingga aliran air mudah
ditampung dan dibelokkan serta kemiringan saluran air (SPA) jangan
terlalu curam,
- Bila endapan sedimen telah mencapai setengah dari badan
bendungansebaiknya sedimen dikeruk dan dapat dipakai sebagai lapisan
atas tanah,
- Dalam membuat bendungan permanen harus dilengkapi dengan saluran
pelimpah (“Spillways”) untuk menangani keadaan darurat dan saluran
pembuatan (“decant”, “syohon”), dan lainnya yang dianggap perlu,
- Kurangi kecepatan aliran permukaan dengan membuat teras, check dam
dari beton, kayu atau dalam bentuk lain seperti pada gambar 3.21.
Pengendalian erosi selengkapnya supaya mengacu pada pedoman teknis yang
telah ditetapkan melalui Keputusan Direktur Jendral Pertambangan Umum
No. 693.K/008/DJP/1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Erosi Pada
Kegiatan Pertambangan Umum.
5.3 PENGELOLAAN TANAH PUCUK
Maksud dari pengelolaan ini untuk mengatur dan memisahkan tanah pucuk
dengan lapisan tanah lain. Hal ini karena tanah pucuk merupakan media
tumbuh bagi tanaman dan merupakan salah satu faktor penting untuk
keberhasilan pertumbuhan tanaman pada kegiatan reklamasi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan tanah pucuk adalah :
1. Penggunaan profil tanah dan identifikasi pelapisan tanah tersebut sampai endapan bahan galian,
2. Pengupasan tanah berdasarkan atas lapisan-lapisan tanah dan
ditempatkan pada tempat tertentu sesuai tingkat lapisannya dan timbunan
tanah pucuk tidak melebihi dari 2 meter,
3. Pembentukan lahan sesuai dengan susunan lapisan tanah semula dengan
tanah pucuk ditempatkan paling atas dengan ketebalan minimal 0.15 m,
4. Ketebalan timbunan tanah pucuk pada tanah yang mengadung racun
dianjurkan lebih tebal dari yang tidak beracun atau dilakukan perlakuan
khusus dengan cara mengisolasi dan memisahkannya,
5. Pengupasan tanah sebaiknya jangan dilakukan dalam keadaan basah untuk menghindari pemadatan dan rusaknya struktur tanah,
6. Bila lapisan tanah pucuk tipis (terbatas/sedikit) dipertimbangkan :
7. Penentuan daerah prioritas yaitu daerah yang sangat peka terhadap
erosi sehingga perlu penanganan konservasi tanah dan pertumbuhan tanaman
dengan segera,
- Penempatan tanah pucuk pada jalur penanaman (jenis tanah yang peka terhadap erosi dapat dilihat pada tabel 3.1),
- Jumlah tanah pucuk yang terbatas (sangat tipis) dapat dicampur dengan tanah bawah (sub soil),
- Dilakukan penanaman langsung dengan tanaman penutup (“cover crop”) yang cepat tumbuh dan menutup permukaan.
8. Yang perlu dihindari dalam memanfaatkan tanah pucuk adalah apabila :
- Sangat berpasir (70% pasir atau kerikil),
- Sangat berlempung (60% lempung),
- Mempunyai pH < 5.00 atau > 8.00,
- Mengandung khlorida 3%, dan
- Mempunyai elctrikal conductivity (ec) 400 miliseimens/meter.
- Pengelolaan tanah pucuk pada areal yang akan direklamasi terlihat pada gambar 3.22, 3.23, 3.24, .3.25.
5.4 REVEGASI
Revegetasi dilakukan melalui tahapan kegiatan penyusunan rancangan
teknis tanaman, persiapan lapangan, pengadaan bibit/persemaian,
pelaksanaan penanaman dan pemeliharaan tanaman.
1. Penyusunan Rancangan Teknis tanaman
Rancangan teknis tanaman adalah rencana detail kegiatan revegetasi yang
menggambarkan kondisi lokasi, jenis tanaman yang akan ditanam, uraian
jenis pekerjaan, kebutuhan bahan dan alat, kebutuhan tenaga kerja,
kebutuhan biaya dan tata waktu pelaksanaan kegiatan.
Rancangan tersebut disusun berdasarkan hasil analisis kondisi biofisik
dan sosial ekonomi setempat. Kondisi geofisik meliputi topografi atau
bentuk lahan, iklim, hidrologi, kondisi vegetasi awal dan vegetasu asli.
Sedangkan data sosial ekonomi yang perlu mendapat perhatian antara lain
demografi, sarana, prasaran, dan eksesbilitas yang ada.
Jenis tanaman yang dipilih kalau dapat diarahkan pada penanaman jenis
tumbuhan asli. Sebaiknya dipilih jenis tumbuhan lokal yang sesuai dengan
iklim dan kondisi tanah setempat saat ini. Sehingga, perlu selalu
mengikuti perkembangan pengetahuan mengenai jenis-jenis tanaman yang
cocok untuk keperluan revegetasi lokasi bekas tambang. Perlu konsultasi
dengan instansi yang berwenang di dalam pemilihan jenis tanaman yang
cocok.
2. Persiapan Lapangan
Pada umumnya persiapan lapangan meliputi pekerjaan pembersihan lahan,
pengolahan tanah dan kegiatan perbaikan tanah. Kegiatan tersebut sangat
penting agar keberhasilan tanaman dapat tercapai.
a. Pembersihan lahan
Kegiatan pembersihan lahan merupakan salah satu penentu dalam persiapan
lapangan. Kegiatan ini antara lain : pembersihan lahan dari tanaman
pengganggu (alang-alang, liliana, dll), dengan tujuan agar tanaman pokok
dapat tumbuh baik tanpa ada persaingan dengan tanaman pengganggu dalam
hal mendapatkan unsur hara, sinat matahari, dll.
b. Pengolahan lahan
Tanah diolah supaya gembur agar perakaran tanaman dapat dengan mudah
menembus tanah dan mendapatkan unsur hara yang diperlukan dengan baik,
diharapkan pertumbuhan tanaman sesuai dengan yang diinginkan.
c. Perbaikan tanah
Kualitas tanah yang kurang bagus bagi pertumbuhan tanaman perlu mendapat
perhatian khusus melalui perbaikan tanah seperti penggunaan gypsum,
kapur, mulsa, pupuk (organik maupun anorganik). Dengan perlakuan
tersebut diharapkan dapat memperbaiki persyaratan tumbu tanaman.
1) Penggunaan Gypsum
a) Gypsum digunakan untuk memperbaiki kondisi tanah yang mengandung
banyak lempung dan untuk mengurangi pembentukan kerak tanah (“crusting”)
pada tanah padat (“hard-setting soil”). Penggunaan gypsum akan
menggantikan ion sodium dengan ion kalsium, sehingga dapat meningkatkan
struktur tanah, meningkatkan daya resap tanah terhadap air, aerasi
(udara), pengurangan kerak tanah dan dengan pelindian (“leaching”) akan
mengurangi kadar garam.
b) Bila lapisan tanah bagian bawah (sun soil) yang diperbaiki, maka
dibuat alur garukan yang dalam agar gypsum dapat diserap, jika tanah
kerak yang diperbaiki, sebarkan gypsum pada lapisan permukaan saja.
c) Pengguanaan gypsum sebanyak 5 ton/ha biasanya cukup untuk memperbaiki
tanah kerak. Penggunaan 110 ton/ha diperlukan untuk mengolah lapisan
bagian bawah yang bersifat lempung.
d) Pengolahan biasanya dilakukan sekali saja. Pengaruh pengolahan tanah
dengan gypsum akan tahan selama beberapa tahun, pada saat mana
tumbuh-tumbuhan sudah mampu menghasilkan bahan-bahan organik yang
memberikan dampak positif bagi pertumbuhan.
2) Penggunaan kapur
a) Kapur digunakan khsusunya untuk mengatur pH, akan tetapi dapat juga memperbaiki struktur tanah.
b) Pengaturan pH dapat merangsang tersedianya zat hara untuk tanaman dan mengatur zat-zat racun.
c) Kapur biasanya digunakan dalam bentuk tepung batu gamping, kapur dolomit. Kapur tohor (“hydrated lime”) jarang digunakan.
d) Kapur atau batu kapur giling kasar (“coarsely crushed”) dan kapur
dolomit mempunyai daya kerja yang lebih lambat, akan tetapi pengaruhnya
dalam menetralisir pH lebih lama dibandingkan dengan kapur tohor.
e) Penggunaan gamping secara bertahap mungkin diperlukan jika kesinambungan kenaikan pH dibutuhkan.
f) Kapur tohor akan berpengaruh menrurunkan kemampuan jenis pupuk yang
mengandung nitrogen. Karena itu penggunaanya harus terpisah.
g) Tingkat penyesuaian pH akan bergantung dari tingkat keasaman, jenis
tanah dan kualitas batu gamping. Sebagai contoh, penggunaan kapur
sebanyak 2,5 – 3,5 ton/ha pada tahun yang memiliki pH > 5,0 akan
menaikan pH kurang lebih 0,5.
3) Penggunaan Mulsa, Jerami dan Bahan Organik lainnya
a) Mulsa adalah bahan yang disebarkan dipermukaan tanah sebagai upaya
perbaikan kondisi tanah. Tanaman penutup berumur pendek dapat juga
dipergunakan sebagi mulsa.
b) Mulsa berfungsi mengendalikan erosi, mempertahankan kelembaban tanah dan mengatur suhu permukaan tanah.
c) Pada umumnya penggunaan mulsa terbatas pada lokasi yang memerlukan
revegetasi yang cepat, perlindungan tempat-tempat tertentu (seperti
tanggul) atau jika perbaikan tanah atau media akan dibutuhkan.
d) Jerami jenis batang padi umumnya digunakan sebagai mulsa atau lokasi
yang luas. Tingkat penggunaan bervariasi antara 2,5 – 5,0 ton/ha.
e) Berbagai jenis bahan-bahan organik atau limbah pertanian digunakan
sebagai mulsa yang penggunaannya bergantung dari ketersediaan dan
harganya. Bahan-bahan baik digunakan sebagai mulsa, antara lain
tumbuh-tumbuhan yang tergusur pada waktu pengupasan tanah,
potongan-potongan kayu dan serbuk gergaji, limbah pabrik pengolahan dan
penggergajian kayu, ampas pabrik gula tebu dan berbagai kulit jenis
kacang-kacangan.
f) Nitrogen mungkin perlu ditambahkan untuk memenuhi kekurangan nitrogen
yang terjadi pada saat mulsa segar mulai membusuk/terurai.
g) Penyebaran mulsa secara mekanis dapat menggunakan alat pertanian (misalnya penyebar pupuk kandang) atau dengan alat khusus.
h) Alat khusus penyebar mulsa digunakan untuk penyebaran bahan-bahan
mulsa (Biasanya jerami atau batang padi) yang dicampur dengan bijih
tumbuhan.
4. Pupuk
a) Persyaratan penggunaan pupuk akan sangat bervariasi sesuai dengan
kondisi dan maksud peruntukan lahan sesudah selesai penambangannya.
b) Meskipun jenis tumbuhan asli beradaptasi dengan tingkat nutrisi yang
rendah namun dengan pemberian pupuk yang cukup dapat meningkatkan
pertumbuhannya.
c) Reaksi setiap tumbuhan bervariasi, anggota dari rumpun
“proteseae”sensitif terhadap peningkatan kandungan fosfor dan
kemungkinan menimbulkan efek yang kurang baik.
d) Pupuk organik (lumpur kotoran, pupuk alami atau kompos, darah dan
tulang dan sebagainya) umumnya bermanfaat sebagai pengubah sifat tanah.
e) Jenis, dosis dan waktu pemberian pupuk anorganik sebaiknya dilakukan sesuai dengan hasil analisis tanah.
f) Pupuk anorganik komersial selalu mengandung satu atau lebih nutrisi
makro (yaitu nitrogen, fosfor, kalium). Selain itu juga mengandung
belerang, kalsium, dan magnesium.
g) Apabila terdapat tanda-tanda tumbuhan kekurangan unsur atau keracunan, harus meminta saran dari ahli tanah.
h) Waspada terhadap kemungkinan penggunaan pupuk yang berlebihan yang
dapat mengakibatkan pencemaran air, khususnya pada daera tanah pasiran.
i) Pemberian pupuk dalam bentuk butir atau tablet dapat dilakukan pada
jarak 10 – 15 cm di bawah atau di sebelah tiap lubang semaian pada waktu
penanaman. Harus dicegah kontak langsung antara pupuk dengan akar
semaian.
3. Pengadaan Bibit/Persemaian
Bibit yang dibutuhkan untuk revegetasi dapat memenuhi melalui pembelian
bibit siap tanam, atau melalui pengadaan bibit. Apabila melalui
pengadaan bibit harus mengikuti ketentuan sebagai berikut :
a. Pengadaan benih
Benih adalah tanaman atau bagian yang digunakan untuk memperbanyak dan atau mengembangkan tanaman (UU No. 12 Tahun 1992).
Benih yang akan dipergunakan untuk keperluan revegetasi diperoleh dengan
cara mengeumpulkan dari sumber benih yang ada atau membeli dari
perusahaan pengada/pengedar yang telah ditunjuk secara resmi.
Benih tersebut harus memenuhi syarat :
1) Diketahui secara jelas asal-usulnya
2) Bermutu tinggi/benih unggul
Hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengumpulkan benih/biji antara lain:
1) Menentukan daerah pengumpulan dan spesies yang diinginkan sebelum biji tersebut matang.
2) Menghindari buah yang menunjukan adanya tanda serangan serangga atau gangguan jamur.
3) Mengumpulkan biji yang sudah matang :
a. Kelompok biji berkulit keras (contoh casurinas, eucaliptus dan
lain-lain) Menunjukan kematangan bila warnanya berubah hijau kecoklatan.
b. Kelompok buah yang berdaging seperti mangga menjadi lebih lunak dan berubah warna bila sudah matang.
c. Polong (akasia dan tumbuhan polong lainnya) berubah warna dari hijau
ke coklat, jadi rapuh dan biji (khususnya akasia) akan menjadi hitam dan
mengkilat.
4) Hindarkan penempatan biji atau kelompok biji di dalam kantong plastik, gunakan kantong kain atau kertas.
Apabila membeli biji perlu diperhatikan :
a. Penjual biji mempunyai reputasi baik/penyalur resmi.
b. Biji komersil dan yang dibeli harus terbungkus dalam kemasan berlabel
sehingga terjamin tingkat perkembangannya dan jelas asal serta tanggal
pengambilan biji.
Pengambilan biji dilakukan dengan cara :
a. Memeberikan tanda pengenal secara jelas dengan mencantumkan jenis biji, tanggal pengumpulan, lokasi dan sebagainya.
b. Simpan biji di dalam wadah kering, bebas serangga dan kutu dan bubuhi dengan serbuk anti serangga dan jamur.
c. Biji disimpan pada temperatur di bawah 20o C dan kelembaban yang
rendah. Biji tumbuhan tropis mungkin mati pada temperatur di bawah 10o
C.
b. Pembuatan persemaian.
1) Pemilihan lokasi persemaian
Lokasi persemaian yang dipilih harus memenuhi persyaratan yang ada/dekat
dengan sumber air, tanahnya datar dan mudah dicapai serta cukup
mendapat cahaya matahari. Kondisi ekologisnya mendekati calon areal
penanaman.
2) Tahapan dan Kegiatan Pembuatan Persemaian
a) Perlakuan pendahuluan
Untuk benih yang mempunyai umur panjang (benih ortodoks) beri diberi perlakuan khusus sebelum disemaikan.
b) Penaburan benih
Benih yang berukuran halus sebelum ditabur terlebih dahulu dicampur
dengan pasir halus, tanah halus atau yang telah dihancurkan, sedangkan
benih yang berukuran lebih besar dapat ditabur langsung di bedeng tabur
atau dalam kantong semai.
c) Penyapihan
Penyapihan dilakukan untuk memindahkan bibit siap sapih dari bak
perkecambahan ke dalam pot yang telah diisi media sapih dan di
laksanakan di rumah pertumbuhan.
d) Pemeliharaan bibit
Untuk memperoleh bibit yang baik perlu dilakukan penyiraman, pemupukan,
penyulaman, penyiangan rumput, pemotongan akar serta pemberantasan hama
dan penyakit.
e) Permanenan dan Pengangkutan Bibit
Bibit yang dipanen adalah bibit yang telah memenuhi persyaratan
�� pertumbuhan normal (batang lurus, daun lebar/hijau dan telah mencapai tinggi minimal 20 cm)
�� Kaya perakaran dan telah membentuk gumpalan dengan media pertumbuhannya
�� Tidak terserang hama penyakit
4. Pelaksanaan Penanaman
Tahapan pelaksanaan penanaman meliputi pengaturan arah larikan tanaman,
pemasangan ajir, distribusi bibit, pembuatan lubang tanaman dan
penanaman.
a. Pemasangan arah larikan
Arah larikan tanaman biasanya sejajar kontur atau pada daerah relatif datar mengikuti arah Timur – Barat.
b. Pemasangan Ajir
Pemasangan ajir mengikuti arah larikan tanaman. Pemasangan ajir tanaman mengikuti jarak tanam yang ditetapkan 2 x 3 m.
c. Distribusi Bibit
Dilakukan setelah kegiatan pembuatan lubang tanam atau dilakukan setelah penanaman ajir.
d. Pembuatan Lubang dan Penanaman Tanaman
Lubang tanaman dibuat dengan ukuran 30 x 30 x 30 cm, sedangkan teknik
penanamannyadengan terlebih dahulu melepas plastik (pot/poolybag) pada
bibit yang tersedia. Sebelum bibit ditanam diamati dahulu apakah bibit
yang tersedia cukup baik (memenuhi syarat) umpamanya daun-daunnya
segar/sehat dan tidak rusak, demikian pula keadaan media tanamnya.
Penanaman harus dilakukan dan selesai sore hari.
Tanamkan bibit secara tegak lurus dan cukup padat, untuk memastikan tekan dengan kaki pada sekitar tanaman.
5. Pemeliharaan
Tingkat keberhasilan dari semua metode penanaman akan berkurang bila
tidak dilakukan pemeliharaan yang baik. Pemeliharaan tanaman dimaksudkan
untuk memacu pertumbuhan tanaman sedemikian rupa sehingga dapat
diwujudkan keadaan optimum bagi pertumbuhan tanaman.
Pemeliharaan tanaman pada tahun pertama yang dilakukan yaitu kegiatan :
Penyulaman, pengendalian gulma, penyiangan, pendangiran, dan pemupukan.
Sedangkan pada tahun kedua dilakukan pberupa penyiangan, pengendalian
gulma, pendangiran dan pemupukan.
a. Penyulaman
Penyulaman dilakukan pada tanaman yang mati atau rusak, tidak
sehat/merana untuk memperoleh prosentase tumbuh tanaman > 95% dan
harus dilakukan 15 – 30 hari sesudah penanaman.
b. Pengendalian Gulma
Pengendalian gulma, bertujuan untuk mengurangi atau ememperkecil
persaingan akar antara tanaman pokok dengan tanaman pengganggu.
Pengendalian gulma dapat dilakukan secara manual berupa penyiangan dan
pendangiran atau kimiawi berupa penyemprotan bahan kimia/herbisida,
tergantung pada kondisi lapangan, keadaan tanah, jenis gulma dan jenis
tanaman.
c. Pemupukan
Dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan tanaman dan peningkatan riap. Dalam
menentukan jenis, dosis dan waktu pemupukan perlu pertimbangan jenis
tanaman dan kesuburan tanahnya serta terlebih dahulu dilakukan analisa
tanah.
d. Pengendalian Hama dan Penyakit
1) Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara kimiawi hanya dilakukan
pada keadaan yang sangat mendesak, yang cenderung menggagalkan
rehabilitasi hutan secara keseluruhan.
2) Pengendalian tersebut dilakukan dengan mengikuti petunjuk penggunaan/perlakuan secara tepat dan benar.
3) Pengendalian hama dan penyakit secara kimiawi tidak dibenarkan pada kawasan pelestarian alam.
4) Pencegahan terhadap kebakaran dan penggembalaan liar.
a. Kebakaran hutan dapat menjadi ancaman serius bagi pertumbuhan tegakan, produktivitas dan kualitas tanaman
b. Beberapa usaha pencegahan terhadap kebakaran yang dapat dilakukan
antara lain : pembersihan lahan dari bahan yang mudah terbakar, memilih
jenis tanaman yang tahan kebakaran, dan memberikan penerangan dan
penyuluhan tentang pencegahan kebakaran kepada masyarakat sekitar.
Pencegahan terhadap penggembalaan liar dilakukan melalui penerangan dan
penyuluhan, pemberian bibit makanan ternak dan apabila dianggap perlu
dapat dilakukan pembuatan pagar pengaman.
5.5 REKLAMASI PADA INFRASTRUKTUR DAN BEKAS BUKAAN TAMBANG
5.5.1 Jalan dan Jalan Tambang
Perencanaan desain dan konstruksi jalan tambang baik yang permanen
maupun sementara harus mempertimbangkan rencana kegiatannya lebih lanjut
bila pelaksanaan reklamasi telah dilakukan dikemudian hari. Pada gambar
dperlihatkan contoh pembuatan galian yang baik.
a. Perencanaan
Jalan umum dan jalan tambang diselaraskan dengan rencana pembukaan
daerah pertambangan, hal akan mempermudah rencana selanjutnya apabila
kegiatan pertambangan telah selesai.
Perencanaan jalan harus memperhatikan keamanan operasi penambangan,
hindari pembuatan jalan sejajar yang tidak perlu, demikian pula
bundaran, jalan pintas dan lain-lain.
Pada daerah gersang atau jarang pepohonan, perencanaan jalan umum dan
jalan tambang dilakukan sedemikian rupa agar tumbuh-tumbuhan atau
panorama alam tidak mengurangi daya penglihatan.
Sedapat mungkin perencanaan jalan umum dan jalan tambang harus
disesuaikan dengan keadaan topografi untuk menghindari mengalirnya air
ke badan jalan yang dapat mengakibatkan jalan selalu basah.
b. Rancang Bangun dan Pekerjaan Konstruksi
Pada waktu mendesain jalan tambang, harus disesuaikan untuk beberpa lama
jalan itu diperlukan dan peralatan apa saja yang memerlukan jalan itu.
Sedapat mungkin dihindari pemakaian alat-alat berat pada jalan yang
dipergunakan utnuk kegiatan eksplorasi dan dihindari sejauh mungkin
menggangu tanah pucuk serta akar-akar pohon yang ada.
Memanfaatkan kayu dari pohon-pohon bekas tebangan sebagai badan jalan dan stabilitas lereng jalan.
Permukaan jalan dapat mengkontaminasikan air larian, maka dalam rancang
bangun maupun pekerjaan konstruksi harus memperhitungkan hal tersebut
apabila curah hujan tinggi. Persyaratan atau kelengkapan dari suatu
jalan yang baik, misalnya untuk mengendalikan erosi perlu dipertahankan
dalam pengerjaanya.
Pada daerah datar, termasuk daerah yang sulit/kering, pengendalian air
permukaan sangat penting baik yang berasal dari permukaan jalan atau
daerah sekitarnya (lihat gambar 3.32).
Pada jalan yang berada ditebing (lereng yang curam), aliran alir harus
disalurkan keparit-parit yang dibuat disisi jalan maupun pada tempat
tertentu pada tebing curan tersebut seperti gambar 3.33 untuk
menghindari terjadinya erosi yang dapat mengakibatkan kelongsoran.
Dinding lereng diperkuat agar tidak cepat longsor atau tererosi serta pemasangan gorong-gorong pada setiap ujung saluran air.
c. Reklamasi
Konfirmasikan apakah pihak yang berkepentingan (pemilik kehutanan dan
lain-lain) masih memerlukan jalan tersebut atau tidak pada waktu yang
akan datng.
Pasangalah pintu atau penghalang untuk pencegah penggunaan jalan oleh orang-orang yang tidak berkeprentingan.
Tebarkan tanah pucuk dan garu utnuk melonggarkan tanah yang padat
sehingga mudah untuk penyemaian bibit tanaman, hal ini akan sekaligus
juga menghambat atau mencegah penggunaan jalan yang memang sudah ridak
dikehendaki serta dapat segera dilakukan revegetasi (lihat gambar 3.34).
Bongkar gorong-gorong, selokan dan konstruksi semi permanen/sementara lainnya, biarkan alir mengalir secara alami.
Apabila konstruksi penguat dinding lereng atau pekerjaan potong timbun
(“cut and fill”) dan sebaginya menjadikan daerah-daerah berlereng tidak
stabil untuk jangka waktu lama, maka perlu dibentuk lagi kontur yang
memadai dengan menggunakan material dari badan jalan, sehingga diperoleh
lereng yang lebih stabil dan memenuhi persyaratan sebagai lahan siap
revegetasi.
Pemeliharaan jalan-jalan tertentu sehingga jalan masuk peralatan
reklamasi sesuai rencana rehabilitasi daerah bekas tambang adalah tetap
dilakukan selama jalan tersebut dilakukan.
5.5.2 Instalasi Jaringan Listrik dan Komunikasi
Hindari penebasan pohon serta pemindahan tanah dalam rangka instalasi
jaringan listrik dan alat komunikasi, biarkan tanggul atau akar pohon
selama tidak mengganggu karena akan mempengaruhi revegetasi jalan-jalan
masuk yang hanya digunakan sementara.
Gunakan peralatan yang lebih sesuai untuk instalasi, pemeliharaan maupun
pembongkaran pada daerah-daerah terutama pada daerah-daerah yang sulit
dicapai.
Singkirkan kabel, sling dan sebagainya ketika menara selesai dibongkar,
kubur atau singkirkan balok-balok beton atau pondasi. Jalan-jalan segera
direhabilitasi apabila kegiatan tidak aktif lagi.
5.5.3 Lubang Bekas Tambang
Apabila penambangan secara terbuka diterapkan pada umumnya akan
meninggalkan lubang atau cekungan pada akhir penambangan, Terjadinya
lubang-lubang ini dapat diminimalkan apabila penimbunan kembali tanah
penutup dilakukan dengan segera dan merupakan bagian dari pekerjaan
penambangan. Lubang-lubang tambang yang tidak dapat dihindari, dan
berdasarkan perhitungan tidak dapat ditimbun kembali, maka lubang-lubang
tersebut haruslah dalam kondisi dari lubang/cekungan tersebut.
Alternatif pemanfaatannya antara lain :
a. Waduk
Tergantung untuk apa air akan digunakan, kualitas air (yang masuk dan keluar) merupakan faktor penentu.
b. Habitat satwa liar atau budidaya
Lubang/cekungan merupakan faktor kritis, kedalaman, dinding yang terjal
umumnya tidak cocok untuk maksud ini. Pertimbangan adanya aliran tanah,
bentang alam serta habitat binaan memerlukan penelitian yang
komprehensif.
c. Tempat penimbunan bahan tambang
Dengan pertimbangan ekonomi, maka lubang yang akan dipilih adalah yang
dekat dengan kegiatan pengupasan tanah/batuan penutup. Penelitian pola
air tanah dan kemungkinan pencemaran oleh mineral buangan perlu
dilakukan. Alternatif pemanfaatan lubang bekas tambang harus didahului
denagn penelitian mengenai kelayakan lokasi tersebut terhadap satwa liar
atau budidaya.
6. KRITERIA KEBERHASILAN REKLAMASI
Untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan kegiatan reklamasi lahan bekas tambang, perlu mengacu pada kriteria sebagai berikut :
6.1 PENATAAN LAHAN
1. Pengisian kembalian lahan bekas tambang
a. Luas areal yang diisi kembali (ha), > 90 % dari areal yang seharusnya diisi.
b. Jumlah bahan/material pengisi (m3), > 90 % dari jumlah tanah penututup yang digali.
2. Pengaturan permukaan lahan (regrading)
a. Luas areal yang diatur (ha), > 90 % dari luas areal yang ditimbun kembali.
b. Kemiringan lereng (%), < 8 % untuk tanaman pangan.
c. Tinggi, lebar dan panjang ters (m), disesuaikan dengan bentuk teras dan kemiringan lereng.
3. Penaburan/penempatan tanah pucuk
a. Luas daerah yang diatur (ha), > 90 % dari areal yang harus diisi.
b. Jumlah tanah pucuk yang yang ditabur, > 90 % dari tanah pucuk yang digali dan disimpan.
c. Ketebalan tanah pucuk (cm), > 80 % dari ketebalan tanah pucuk semula pada areal tersebut.
d. Perbaikan kualitas tanah melalui pengapuran (ton/ha), sehingga pH
tanah menjadi 5,0 – 7,0 dan perbaikan struktur tanah, tanah menjadi
gembur.
6.2 PENGENDALIAN EROSI DAN PENGELOLAAN TAMBANG
1. Pembuatan bangunan pengendali erosi, jenis, jumlah, dan kualitasnya sesuai dengan rencana.
2. Pengelolaan limbah, pelaksanaannya sesuai dengan rencana
6.3 REVEGETASI
1. Pengadaan bibit/benih
a. Jenis, asli setempat atau sesuai dengan kondisi atau fungsi lahan
b. Jumlah (batang/kg), sesuai dengan rencana.
2. Penanaman
a. Jumlah areal yang ditanami (ha), > 90 % dari areal yang telah diatur kembali.
b. Jumlah yang ditanam (batang), sesuai dengan rencana.
c. Jarak tanam (m x m), sesuai dengan rencana.
3. Pemeliharaan
a. Jumlah dan jenis tanaman sulaman, sesuai dengan jumlah yang mati.
b. Pemupukan, jenis dan dosis pupuk serta frekuensi pemupukan sesuai dengan rencana.
c. > 90 % tanaman bebas dari gulma, hama dan penyakit.
4. Tingkat pertumbuhan tanaman
a. Tanaman tumbuh subur (sehat dan tidak merana)
b. Jumlah tanaman yang ditanam prosentase jadinya > 80 %.
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Facebook
0 komentar:
Posting Komentar