Pemanfaatan
secara ekonomis potensi cadangan batubara disebut dengan penambangan
batubara, yang terbagi menjadi penambangan terbuka (surface mining atau open cut mining) dan penambangan bawah tanah atau tambang dalam (underground mining). Bila terdapat singkapan batubara (outcrop)
di permukaan tanah pada suatu lahan yang akan ditambang, maka metode
penambangan yang akan dilakukan, yaitu metode terbuka atau bawah tanah,
ditetapkan berdasarkan perhitungan tertentu yang disebut dengan nisbah
pengupasan (Stripping Ratio, SR). Nisbah ini merupakan indikator tingkat ekonomis suatu kegiatan penambangan.
SR = {(Biaya Tambang Dalam) – (Biaya Tambang Terbuka)} / Biaya Pengupasan
Pada perhitungan SR di atas, biaya tambang dalam adalah biaya per batubara bersih (clean coal)
dalam ton, sedangkan untuk biaya tambang terbuka adalah biaya per
batubara bersih dalam ton dan biaya relamasi, tapi tidak termasuk biaya
pengupasan tanah penutup (overburden). Sedangkan biaya pengupasan adalah biaya pengupasan tanah penutup, dalam m3.
Selain perhitungan di atas, kondisi lain yang mengakibatkan penambangan bawah tanah harus dilakukan adalah:
1. Posisi lapisan batubara berada di bawah laut.
Contohnya adalah tambang batubara Mitsui Miike Jepang, yang bagian
terdalam lapangan penggaliannya sekitar 850 m di bawah permukaan laut.
Tambang terbesar di Jepang ini tutup pada tanggal 30 Maret 1997, setelah
beroperasi selama 124 tahun.
2. Posisi batubara terletak jauh di kedalaman tanah.
Contohnya adalah tambang dalam PT Kitadin Embalut dan PT Fajar Bumi Sakti di Kalimantan Timur.
Meskipun
perhitungan kelayakan ekonomis di atas merupakan faktor utama untuk
menentukan metode penambangan, hal – hal lain yang juga menjadi faktor
pertimbangan diantaranya adalah kondisi sosial calon lokasi tambang,
masalah lingkungan hidup, dan status hukum lokasi yang akan ditambang.
Hal inilah yang menyebabkan baik tambang terbuka maupun tambang dalam
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing – masing. Pada tambang
terbuka misalnya, meskipun investasinya lebih kecil dan memiliki tingkat
keterambilan batubara (recovery)
di atas 90%, tapi kurang bersahabat dari segi lingkungan dan terkadang
menimbulkan gesekan dengan masyarakat sekitar terkait polusi debu maupun
masalah kepemilikan lahan. Sebaliknya untuk tambang dalam, meskipun
masalah sosial maupun kerusakan lingkungan relatif dapat dihindari, tapi
kekurangannya adalah investasi awal yang besar, dan tingkat
keterambilan batubara yang tidak setinggi pada tambang terbuka. Dengan
mengemukanya isu kelestarian lingkungan dewasa ini, tambang dalam
merupakan satu-satunya pilihan pada penambangan batubara yang
cadangannya tersimpan di lokasi hutan lindung misalnya.
1. Teknik Penambangan Batubara Terbuka
Pengelompokan
jenis-jenis tambang terbuka batubara didasarkan pada letak endapan, dan
alat-alat mekanis yang dipergunakan. Teknik penambangan pada umumnya
dipengaruhi oleh kondisi geologi dan topografi daerah yang akan
ditambang. Jenis-jenis tambang terbuka batubara dibagi menjadi :
a. Contour mining
Contour
mining cocok diterapkan untuk endapan batubara yang tersingkap di
lereng pegunungan atau bukit. Cara penambangannya diawali dengan
pengupasan tanah penutup (overburden) di daerah singkapan di sepanjang
lereng mengikuti garis ketinggian (kontur), kemudian diikuti dengan
penambangan endapan batubaranya. Penambangan dilanjutkan ke arah tebing
sampai dicapai batas endapan yang masih ekonomis bila ditambang.
b. Mountaintop removal method
Metode
mountaintop removal method ini dikenal dan berkembang cepat, dengan
metode ini lapisan tanah penutup dapat terkupas seluruhnya, sehingga
memungkinkan perolehan batubara 100%.
c. Area mining method
Metode
ini diterapkan untuk menambang endapan batubara yang dekat permukaan
pada daerah mendatar sampai agak landai. Penambangannya dimulai dari
singkapan batubara yang mempunyai lapisan dan tanah penutup dangkal
dilanjutkan ke yang lebih tebal sampai batas pit.
d. Open pit method
2. Teknik Penambangan Batubara Bawah Tanah
Pada
prinsipnya, penambangan batubara dengan menggunakan metode tambang
dalam memerlukan 3 persyaratan teknis yang mutlak harus dipenuhi, yaitu
1. Pemahaman secara menyeluruh terhadap kondisi alam di lokasi yang akan ditambang.
2. Teknologi
penambangan yang sesuai dengan kondisi lapangan penggalian, aman,
ekonomis, dan menghasilkan tingkat keterambilan batubara yang tinggi.
3. Sumber daya manusia yang handal.
Ketiga
hal diatas mudahnya disingkat dengan alam, teknologi, dan manusia. Data
geologi yang cukup mengenai kondisi tersimpannya batubara seperti
kedalaman lapisan, jumlah lapisan, tebal lapisan, kemiringan lapisan (dip) dan arahnya (strike), jumlah cadangan, dan data pendukung lainnya seperti formasi batuan, kemudian ada tidaknya patahan (fault) atau lipatan (fold), akan sangat membantu untuk menentukan metode pembukaan tambang, metode pengambilan batubara (extraction), penggalian maju (excavation/development), transportasi baik material maupun batubara, penyanggaan (support), ventilasi, drainase, dan lain – lain. Metode penambangan batubara bawah tanah ada 2 buah yang populer, yaitu:
a. Room and Pillar
Metode
penambangan ini dicirikan dengan meninggalkan pilar-pilar batubara
sebagai penyangga alamiah. Metode ini biasa diterapkan pada daerah
dimana penurunan (subsidence) tidak diijinkan. Penambangan ini dapat
dilaksanakan secara manual maupun mekanis.
b. Longwall
Metode
penambangan ini dicirikan dengan membuat panel-panel penambangan dimana
ambrukan batuan atap diijinkan terjadi di belakang daerah penggalian.
Penambangan ini juga dapat dilaksanakan secara manual maupun mekanis.
3. Permasalahan Dalam Penerapannya
Operasi
penambangan batubara seringkali dituduh menyebabkan kerusakan
lingkungan. Penambangan batubara diperkirakan menyebabkan kerusakan pada
kurang lebih 70 ribu hektar tanah. Pada beberapa area, limbah cair
dibuang pada sungai terdekat yang pada akhirnya mencemari sumber air
warga sekitar. Dampak lingkungan serta permintaan akan kontribusi
perusahaan pertambangan yang lebih besar kepada perkembangan masyarakat
telah menyebabkan munculnya permintaan akan ditutupnya operasi
penambangan batubara. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk
mengurangi pengrusakan lingkungan oleh operasi penambangan batubara
adalah dengan lebih memperketat regulasi yang berkaitan dengan
penambangan batubara, disinilah peran besar pemerintah. Pemerintah
merespon permasalahan ini dengan memberikan komitmen bahwa operasi
penambangan batubara akan merujuk pada peraturan pemerintah mengenai
keselamatan lingkungan. Sebagai contoh, pada tahun 1999 diterbitkan PP
no 18 yang mengatur mengenai tata cara pemrosesan limbah berbahaya dan
beracun. Peraturan ini mengharuskan perusahaan pertambangan untuk
memproses limbah yang dihasilkan hingga mencapai derajat kebersihan yang
sangat tinggi dengan standar kemurnian air yang 5 kali lebih ketat
dibandingkan Amerika Serikat maupun Kanada. Akan tetapi, penerapan
regulasi ini pada akhirnya ditunda karena pemerintah mengevaluasi ulang
kemampuan teknologi yang dimiliki oleh perusahaan pertambangan di
Indonesia dan ternyata dibutuhkan penyesuaian. Belum lagi adanya
penambangan batubara ilegal. Para penambang ilegal mengabaikan ketentuan
yang berkaitan dengan lingkungan dan keselamatan serta menjual batubara
dengan harga yang lebih rendah. Pemerintah diharapkan dapat mengambil
sikap dan menuntut para penambang ilegal ini.
untuk menangani permasalahan gas berbahaya (hazardous gases) seperti CO dan gas mudah nyala (combustible gas)
seperti metana yang muncul di tambang dalam, perencanaan sistem
ventilasi yang baik merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Selain
untuk mengencerkan dan menyingkirkan gas – gas tersebut, tujuan lain
dari ventilasi adalah untuk menyediakan udara segar yang cukup bagi para
pekerja tambang, dan untuk memperbaiki kondisi lingkungan kerja yang
panas di dalam tambang akibat panas bumi, panas oksidasi, dll. Jumlah
angin yang terlalu kecil akan menyebabkan gas – gas mudah terkumpul
sehingga konsentrasinya meningkat, jumlah pasokan oksigen berkurang, dan
lingkungan kerja menjadi tidak nyaman. Sebaliknya, bila volume anginnya
terlalu besar, maka hal ini dapat menimbulkan masalah serius pula yaitu
swabakar batubara (spontaneous combustion). Swabakar batubara
terjadi akibat proses oksidasi batubara. Dalam kondisi normal, batubara
akan menyerap oksigen di udara dan menimbulkan proses oksidasi perlahan,
sehingga terjadi panas oksidasi. Karena nilai konduktivitas panas
batubara adalah 1/4 dari konduktivitas panas batuan, maka panas oksidasi
sulit berpindah ke batuan di sekitarnya, sehingga akan terus
terakumulasi di dalam batubara secara perlahan. Bila sistem ventilasi
yang baik untuk menangani hal ini tidak dilakukan, maka suhunya akan
terus meningkat sehingga dapat mencapai titik nyala, dan akhirnya
menimbulkan kebakaran. Penangulanggan terjadinya swabakar batubara dapat dilakukan dengan cara : penyiraman
air ke lapisan batubara terbakar untuk mengikat oksigen yang dilakukan
dengan cara menginjeksi air dari atap terowongan di daerah titik api dan
flushing air dari permukaan melalui lubang pemboran ke lapisan
batubakar terbakar. Semen grouting untuk menutup pori-pori, cleat, dan
retakan yang terdapat pada lapisan batubara dengan maksud mencegah
suplai aliran oksigen, dan sealing atap untuk menutup rapat lubang guna
mencegah runtuhnya batuan atap.
Tanah
yang dikeruk, polusi yang disebabkannya, serta bekas yang
ditinggalkannya masih akan menjadi masalah lingkungan di kemudian hari.
Mungkin saat ini yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kinerja
unit-unit penanganan limbah sekaligus melakukan transfer teknologi
terkait dengan keterbatasan yang kita miliki dalam teknologi
penambangan, mengurangi penambang-penambang ilegal, dan secara bertahap
melakukan rehabilitasi lahan pertambangan yang telah ditinggalkan.
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Facebook
0 komentar:
Posting Komentar