Jumat, 18 Maret 2011
Pengkajian geologi tersier daerah Sumatera Bagian Selatan : Hubungannya dengan keterdapatan batubara
13.43
bro
No comments
SARI
Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dimulai oleh batuan alas Pratersier yang terdiri atas batuan granit, batuan metasedimen, dan batuan malihan derajat rendah. Secara tidak selaras di atasnya diendapkan batuan gunungapi Formasi Kikim yang berumur Eosen - Oligosen. Runtunan genang laut (fluviatil sampai laut dalam) berumur Oligosen Akhir sampai Miosen Tengah menindih secara tidak selaras di atas Formasi Kikim yang terdiri atas Formasi Talangakar, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai. Mulai Miosen Tengah hingga Plistosen terbentuk runtunan susut laut (laut dangkal sampai fluviatil), yaitu Formasi Airbenakat, Formasi Muaraenim, dan Formasi Kasai.
Tercatat tiga peristiwa gerak-gerak tektonik yang berperan pada perkembangan Cekungan Sumatera Selatan dan proses sedimentasinya. Tektonik pertama berupa gerak tensional pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal yang menghasilkan sesar-sesar bongkah berarah timurlaut-baratdaya atau utara-selatan. Sedimen mengisi lekukan atau terban di atas batuan alas bersamaan dengan kegiatan gunungapi. Tektonik kedua berlangsung pada Miosen Tengah-Akhir (Intra Miosen), menyebabkan pengangkatan tepi-tepi cekungan, dan diikuti pengendapan bahan-bahan klastika. Tektonik ketiga berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen menyebabkan sebagian Formasi Airbenakat dan Formasi Muaraenim yang telah menjadi tinggian tererosi, sedangkan pada daerah yang relatif turun diendapkan Formasi Kasai. Pada akhirnya terjadi pengangkatan dan perlipatan utama di seluruh daerah cekungan yang mengakhiri pengendapan Tersier di Cekungan Sumatera Selatan.
Batubara yang terdapat di dalam Formasi Talangakar secara umum diendapkan di daerah-daerah depresi yang terbentuk pada awal perkembangan cekungan. Depresi tersebut pada umumnya sempit dan dibatasi oleh struktur sesar. Konsekuensinya, keterdapatan maupun sebaran batubara di dalam formasi ini juga terbatas dan bersifat lokal. Batubara yang terdapat di dalam Formasi Muaraenim diendapkan pada dataran pantai yang sebagian merupakan dataran delta. Pada lingkungan pengendapan dataran delta seperti ini sangat mungkin berlangsung pengendapan batubara yang lebih merata, konsisten, dan dalam sekala yang lebih luas.
PENDAHULUAN
Maksud Penelitian ini dilakukan untuk mendukung Kegiatan Rutin Suplemen, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral Tahun Anggaran 1998/1999. Topik utama kegiatan ini adalah Pengkajian Geologi Tersier Sumatera Bagian Selatan, dengan topik khusus tentang hubungannya dengan keterdapatan batubara.
Tujuan penelitian ini untuk lebih memahami siklus pengendapan batuan yang berhubungan dengan pembentukan batubara, baik dalam runtunan genang laut Paleogen maupun runtunan susut laut Neogen. Hasil kegiatan ini telah dapat menggambar 14-kan model pengendapan batubara yang dapat dipakai sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan eksplorasi selanjutnya.
Daerah penelitian meliputi lokasi kegiatan lapangan, meliputi daerah-daerah Kungkilan Kabupaten Ogan Komering Ulu, Batuniding Kabupaten Lahat, dan Padangratu Lampung (Gambar 14-.1).
Metode penyelidikan secara umum merupakan perpaduan antara pekerjaan lapangan dan laboratorium. Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan membuat pengukuran penampang stratigrafi rinci termasuk pengamatan aspek stratigrafi dan sedimentologi serta pengambilan percontoh batuan secara sistematis pada formasi-formasi Tersier-Kuarter. Pekerjaan laboratorium meliputi analisis mikropaleontologi, palinologi, dan petrologi.
GEOLOGI
Ketiga lokasi kegiatan penelitian tersebut secara geologi termasuk daerah cekungan busur belakang Sumatera Selatan. Daerah Kungkilan dan Batuniding mewakili tipe cekungan Neogen, sedangkan daerah Padangratu mewakili tipe cekungan Paleogen (Koesoemadinata, dkk., 1978)
Pengkajian geologi Tersier daerah Kungkilan dan Batuniding lebih ditekankan pada aspek stratigrafi dan sedimentologi karena kedua daerah ini secara tektonik lebih stabil daripada daerah-daerah lain. Penelitian di daerah Padangratu lebih menonjolkan aspek geologi struktur karena perkembangan cekungan di daerah ini sangat dipengaruhi oleh gerak-gerak tektonik.
Daerah Kungkilan
Batuan sedimen dan gunungapi berumur Tersier hingga Kuarter tersingkap di sepanjang Air Kungkilan. Kedudukan perlapisan batuan menunjukkan arah kemiringan antara U 260º T – U 80º T, sedangkan besarnya sudut kemiringan berkisar antara 25º hingga 10º dengan kecenderungan menjadi lebih landai ke arah hilir (timurlaut). Menurut tataan stratigrafi regional (Gafoer dkk., 1994), batuan tersebut dapat dibagi menjadi tujuh formasi, dari tua ke muda adalah Formasi Kikim, Formasi Talangakar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Airbenakat, Formasi Muaraenim, dan Formasi Kasai (Gambar 14-2 dan 14-3).
Formasi Kikim merupakan batuan alas yang berupa lava andesit berwarna abu-abu, berasal dari hasil kegiatan gunungapi, diendapkan di lingkungan darat.
Formasi Talangakar berupa batulempung dan batupasir. Lapisan batupasir lebih berkembang di bagian bawah, sedangkan di bagian atas terutama didominasi oleh batulempung. Batulempung biasanya berwarna abu-abu sampai abu-abu tua, kadang-kadang lanauan serta mengandung fosil moluska, kepingan koral, sisa tumbuhan, dan keratan batubara. Batupasir pada umumnya berwarna abu-abu, berbutir halus hingga kasar, mengandung moluska, serpihan batubara, dan damar. Formasi ini mempunyai ketebalan sekitar 75 m, ditindih selaras oleh Formasi Baturaja, dan diendapkan di lingkungan darat hingga laut dangkal, yaitu di laguna (Nichols, 1989).
Formasi Baturaja terdiri atas batugamping dengan sisipan napal dan batulempung. Batugamping tampak berwarna abu-abu terang hingga putih keabu-abuan dan terdiri atas batugamping pejal dan batugamping berlapis. Formasi ini berketebalan mencapai 85 m dan ditindih selaras oleh Formasi Gumai. Lingkungan pengendapan batuan berhubungan dengan laut yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan terumbu, yaitu laut dangkal dengan kondisi air yang jernih dan hangat (Walker, 1992).
Formasi Gumai terdiri atas batupasir dan batulempung yang membentuk perlapisan selang-seling dengan ketebalan berkisar antara 20-80 cm, namun di beberapa tempat dijumpai selang (interval) batulempung berketebalan 3-10 m. Batupasir berwarna abu-abu kehijauan, mengandung glaukonit dan kadang-kadang kepingan batubara. Struktur perarian silang-siur kurang berkembang dalam lapisan batupasir ini, sebaliknya struktur perarian sejajar berkembang sangat baik. Batulempung berwarna abu-abu muda hingga kehijauan dan kaya foraminifera plangton. Formasi ini diendapkan di lingkungan laut terbuka.
Formasi Airbenakat terdiri atas batupasir, batulempung, batulanau, dan perselingan antara batupasir dan batulempung atau batulanau. Secara umum kehadiran batulempung dan batulanau lebih dominan di bagian bawah dan atas, sedangkan kehadiran batupasir lebih dominan di bagian tengah. Formasi ini berketebalan mencapai 330 m, diendapkan di lingkungan laut dangkal yang dicirikan oleh kehadiran moluska yang melimpah.
Formasi Muaraenim terdiri atas batulempung dengan sisipan batupasir dan batubara. Batulempung pada umumnya berwarna abu-abu sampai abu-abu kehitaman, banyak yang bersifat lanauan, dan sering dijumpai sisa tumbuhan. Lapisan batupasir kebanyakan berwarna abu-abu, berbutir sedang hingga kasar dengan sejumlah butiran berukuran kerikil dan kerakal. Lapisan batubara dengan ketebalan hampir 2 m dijumpai sebagai sisipan di dalam batulempung. Lapisan batubara ini berwarna coklat kehitaman, berkilap kusam, dan bersifat getas dengan pecahan-pecahan yang kasar. Di bagian atas, baik lapisan batupasir maupun batulempung bersifat tufaan. Formasi Muaraenim berketebalan 120 m dan merupakan endapan fluviatil yang dapat dibedakan menjadi endapan alur dan endapan limpah banjir.
Formasi Kasai terdiri tuf berbatuapung, konglomerat, dan batupasir tufan di bagian bawah, sedangkan di bagian atas terutama terdiri atas batulanau tufaan. Formasi Kasai berketebalan 140 meter, diendapkan di lingkungan darat yang dipengaruhi oleh kegiatan gunungapi, dan ditindih tak selaras oleh endapan sungai Kuarter yang terdiri atas kerakal dan pasir kurang padu.
Endapan aluvial menutupi secara tidak selaras satuan-satuan stratigrafi yang lebih tua. Endapan ini terdiri atas kerakal dan pasir yang tidak padu.
Daerah Batuniding
Lintasan pengukuran stratigrafi di daerah ini dilakukan di sepanjang Sungai Cawangsaling yang bermataair di Bukit Sepingtian dan mengalir kearah timurlaut. Di sepanjang Sungai ini tersingkap batuan alas Pratersier maupun batuan gunungapi dan sedimen Tersier - Kuarter. Kedudukan perlapisan batuan yang masih normal menunjukkan arah kemiringan sekitar U 335º T – U 45º T dan besar sudut kemiringan berkisar antara 20º - 70º. Kedudukan perlapisan batuan yang terbalik menunjukkan arah kemiringan sekitar U 245º T – U 65º T dan besar sudut kemiringan berkisar antara 110º - 120º. Mengacu pada pembagian stratigrafi dari Gafoer dkk. (1992), batuan tersebut terbagi menjadi tujuh formasi, dari yang tertua adalah Formasi Kikim, Formasi Talangakar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Airbenakat, Formasi Muaraenim, dan Formasi Kasai (Gambar 14-4 dan 14-5).
Litologi Formasi Kikim terdiri atas tuf litik dan tuf lapili yang berasal dari erupsi gunungapi. Cekungan pada waktu itu masih berupa daratan
Formasi Talangakar dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni bagian bawah dan bagian atas. Bagian bawah berketebalan sekitar 15 meter terdiri atas runtunan yang diawali oleh breksi disusul batupasir kuarsa yang mengandung sisa tumbuhan dengan sisipan batulanau. Bagian atas setebal 3 meter terdiri atas batulempung berwarna abu-abu tua, menyerpih bintal-bintal siderit. Formasi ini diendapakan tak selaras di atas Formasi Kikim di lingkungan aliran banjir melalui alur sungai yang dangkal atau di atas permukaan dalam bentuk sheetflood (Miall, 1977) hingga laut dangkal laguna (Horne and Fern, 1978 dalam Walker and James, 1992) dengan pengaruh genang laut.
Formasi Baturaja terdiri atas batugamping bioklastika dengan selingan napal. Formasi ini berketebalan 140 m, menindih selaras Formasi Talangakar, dan merupakan fasies inti terumbu bagian luar hingga terumbu depan.
Formasi Gumai berketebalan sekitar 70 meter, berupa selang-seling batupasir dan batulempung Perlapisan batupasir terlihat lebih dominan di bagian bawah, secara berangsur ke atas batulempung menjadi dominan, bahkan ada batupasir yang hanya berkembang sebagai lamina di dalam batulempung. Batuan merupakan endapan tipe flysch yang terbentuk di lingkungan laut dalam (Walker, 1992).
Formasi Airbenakat terdiri atas batulanau berwarna abu-abu kebiruan dengan sisipan batulempung. Baik batulanau maupun batulempung mengandung moluska laut yang diendapkan di lingkungan laut dangkal, termasuk fasies dataran lumpur di lingkungan intertidal (Dalrymple dkk, 1991).
Formasi Muaraenim terdiri atas batupasir dan batulempung yang mana batulempung lebih dominan serta mengandung sisa tumbuhan terutama berupa cetakan daun dengan sisipan tuf. Formasi ini berketebalan sekitar 180 m, menindih selaras Formasi Airbenakat, dan merupakan hasil endapan sungai bermeander yang dicirikan oleh alur-alur dangkal, mudah perpindah-pindah, dan sering banjir (Miall, 1992) serta berasosiasi dengan sistem pengendapan delta.
Formasi Kasai terdiri atas batupasir dan batulempung, selain tuf batuapung khususnya di bagian bawah, konglomerat, dan batulanau. Batuan merupakan hasil endapan alur sungai, aliran banjir, rawa, dan aliran batuapung yang berlangsung di lingkungan dataran aluvial.
Daerah Padangratu
Berdasarkan pembagian peta Geologi Lembar Kotaagung (Amin, dkk., 1994), batuan di daerah ini terbagi menjadi beberapa satuan stratigrafi, yang berumur dari Paleozoikum sampai Kuarter. Urut-urutan stratigrafi tersebut dari yang tertua adalah Komplek Gunungkasih, Formasi Menanga, Formasi Kikim, Formasi Talangakar, Formasi Gading, Formasi Hulusimpang, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Kasai, Formasi Lampung, Batuan gunungapi Kuarter, dan Aluvium (Gambar 14-. 6).
Dalam kegiatan kali ini dilakukan interpretasi foto udara, terutama yang berkenaan dengan struktur geologi regional, pengukuran struktur geologi di lapangan, dan analisis struktur geologi terukur. Selain itu dilakukan pengamatan ciri litologi terutama batuan pendukung Formasi Talangakar, namun hanya terbatas pada bagian yang mengandung lapisan batubara dan yang berdekatan. Pembahasan mengenai tataan stratigrafi masing-masing formasi didasarkan pada peta geologi regional yang sudah ada.
Lapisan batubara yang terdapat di dalam Formasi Talangakar ini tampak berwarna hitam, mengkilap, bersifat getas dengan pecahan-pecahan yang konkoidal, mengandung pirit dengan lapisan pengotor serpih hitam. Ketebalan lapisan batubara berkisar antara 0,3 m hingga ini lebih dari 0,8 m (bagian bawah tidak tersingkap) dan kedudukan lapisannya U 270 T/20. Lapisan batubara pada Formasi Talangakar di daerah ini umumnya terbentuk pada lingkungan rawa dan cekungan limpah banjir sistem sungai bermeander.
Sintesa yang dikemukakan oleh Tjia (1977), Pulunggono, dkk. (1992), dan Holder, dkk. (1995) dipakai sebagai acuan dan sebagai studi perbandingan antara sejarah tektonik regional Pulau Sumatera dengan daerah penelitian. Pulau Sumatera mengalami empat kali deformasi tektonik dan sistem sesar, dari Jura Akhir sampai dengan Resen. Deformasi pertama berlangsung pada Jura Akhir yang berupa fase kompresi dan daerah Padangratu masih berada di kerak samudera. Deformasi kedua berlangsung pada Kapur Akhir sampat Tersier Awal yang berupa fase ekstensi dan daerah Padangratu termasuk ke dalam jalur tunjaman. Deformasi ketiga terjadi pada Miosen Tengah sampai Resen yang berupa fase kompresi kedua dan daerah Padangratu termasuk ke dalam busur magmatik pada bagian tengah dan baratdaya. Deformasi keempat masih berlangsung aktif sekarang ini berupa pengatifan kembali beberapa sesar yang sudah terbentuk sebelumnya. Daerah penelitian yang terletak di sebelah timur Segmen Sesar Semangko dipengaruhi oleh sistem tegasan utama dan sistem sesar seperti terlihat pada Gambar 14-. 7. Penafsiran foto udara memperlihatkan bahwa sebaran Formasi Talangakar di daerah ini tampak dibatasi oleh sesar utama, yaitu sesar No. 8B dan sesar No.9A berarah U 32º T - U 212 T dan U 36 T-U 216 T.
LINGKUNGAN PENGENDAPAN DAN KETERDAPATAN BATUBARA
Daerah Kungkilan berada di lereng timurlaut Pegunungan Garba dan merupakan bagian tepian Cekungan Sumetera Selatan, Subcekungan Palembang. Daerah Batuniding berada di cekungan yang sama dan di sebelah baratdaya dibatasi oleh Pegunungan Gumai. Secara tektonik kedua daerah ini relatif stabil dibandingkan bagian lain di dalam cekungan. Pada kala Eosen baik daerah Kungkilan maupun Batuniding masih berupa darat, diendapkan bahan gunungapi, dan membentuk Formasi Kikim. Lava andesit banyak diendapkan di daerah Kungkilan, sedangkan di daerah Batuniding diendapkan piroklastik. Kegiatan gunungapi itu berlangsung sampai Oligosen Akhir dan disusul proses peneplanation.
Genang laut dimulai pada awal Miosen sehingga bahan hasil kegiatan gunungapi tersebut digantikan oleh klastik kuarsaan dan bahan rombakan hasil pengikisan Formasi Kikim yang membentuk Formasi Talangakar. Di bawah pengaruh genang laut, cekungan di daerah Kungkilan dan Batuniding berkembang menjadi lingkungan darat-paralik hingga laut dangkal.
Fasies darat-paralik Formasi Talangakar merupakan bagian terpenting yang berkaitan dengan keterdapatan batubara. Di daerah Kungkilan bagian ini tidak tersingkap, sebaliknya tersingkap baik di daerah Batuniding. Lingkungan darat yang berkembang adalah sistem fluvial yang didominasi oleh aliran banjir, baik yang melalui alur sungai maupun di atas permukaan (sheetflood). Sistem sungai dengan kondisi seperti itu biasanya terbentuk di daerah peneplain (Steel, 1974). Batubara dapat terbentuk dalam lingkungan seperti itu, yakni di cekungan limpah banjir atau di rawa-rawa interchannel. Baik cekungan limpah banjir maupun rawa-rawa tidak berkembang di daerah ini sehingga di daerah Batuniding tidak dijumpai batubara. Sebaliknya di daerah Padangratu, proses pengendapan yang sama namun dipengaruhi oleh struktur geologi setempat telah mengendapkan beberapa lapisan batubara dengan ketebalan berkisar antara 0,3 - 0,8 m.
Lingkungan darat-paralik Formasi Talangakar tidak berlangsung lama, menyusul perubahan ke lingkungan laguna (kecuali daerah Padangratu). Perubahan ini sangat berpengaruh pada pembentukan batubara dalam formasi ini, karena pengaruh laut yang kuat mencegah pembentukan batubara. Selain itu, lingkungan laguna laut dangkal dan fauna laut khususnya moluska yang melimpah, tidak sesuai bagi pembentukan batubara.
Perubahan lingkungan pengendapan terus berlangsung di bawah pengaruh genang laut. Lingkungan pengendapan di daerah Kungkilan dan Batuniding berkembang menjadi laut dangkal yang jernih dan hangat sehingga terjadi pertumbuhan terumbu dan pengendapan karbonat Formasi Baturaja. Terumbu itu tumbuh sebagai koloni koral yang berasosiasi dengan ganggang, moluska, bryozoa, dan foraminifera.
Proses genang laut mencapai puncaknya pada waktu Formasi Gumai diendapkan. Lingkungan laut di daerah Kungkilan dan terutama Batuniding menjadi semakin dalam sehingga tidak lagi cocok bagi pertumbuhan terumbu maupun pengendapan karbonat. Di daerah batuniding diendapkan sedimen tipe flysch yang terdiri atas selang-seling tipis batupasir dan batulempung. Endapan serupa namun dalam fasies yang lebih proximal diendapkan di daerah Kungkilan. Suplai klastika ke dalam cekungan di daerah yang disebut terakhir menunjukkan peningkatan yang berarti. Laju sedimentasi yang tinggi ini sangat boleh jadi disebabkan oleh gerak-gerak tektonik yang menyebabkan pengangkatan. Akibatnya terjadi peningkatan kegiatan erosi, kemudian disusul oleh peningkatan laju sedimentasi dalam cekungan. Penjelasan ini diperkuat dengan ditemukannya kepingan batubara dalam lapisan batupasir yang diduga berasal dari Formasi Talangakar yang tererosi.
Tanda dimulainya susut laut sudah tampak menjelang akhir pengendapan Formasi Gumai. Adanya endapan lempung berkandungan foraminifera yang melimpah menunjukkan lingkungan pengendapan yang relatif lebih dangkal daripada sebelumnya. Perubahan lingkungan pengendapan itu semakin jelas pada saat Formasi Airbenakat mulai diendapkan yang berlangsung dalam zona inner sublittoral yang dipengaruhi sistem pasang-surut, dicirikan oleh kehadiran moluska yang melimpah
Formasi Muaraenim dengan sistem sungai bermeander yang dicirikan oleh alur-alurnya yang relatif dangkal dan berjalin-jemalin. Akibatnya endapan banjir berkembang sangat ekstensif terutama di dataran limpah banjir dan cekungan limpah banjir. Di antara cekungan limpah banjir ini ada yang berumur panjang dan berkembang menjadi lingkungan rawa. Batubara yang terdapat di daerah Kungkilan telah diendapkan pada lingkungan seperti ini. Berdasarkan data palinologi, lingkungan di daerah Kungkilan pada waktu itu ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan terdiri atas akasia, durian, mara, nangka, rotan, waru, jambu, pohon Rasamala, dan masih banyak lagi. Tumbuhan tersebut merupakan bahan baku dalam pembentukan batubara.
Puncak susut laut terjadi bersamaan dengan kegiatan gunungapi, cekungan berupa dataran aluvial, dan diendapkan Formasi Kasai. Bahan gunungapi tersebut ditranspor melalui alur-alur sungai dan permukaan sebagai aliran banjir atau secara langsung sebagai aliran piroklastik. Pengendapan Formasi Kasai tidak langsung merata di semua tempat. Daerah Kungkilan termasuk daerah tinggian sehingga proses erosi mengikis bagian atas Formasi Muaraenim sebelum Formasi Kasai diendapkan. Daerah Batuniding merupakan rendahan sehingga pengendapan berlangsung secara menerus.
Subcekungan Palembang di daerah Kungkilan dan Batuniding pada dasarnya berkembang dengan pola pengendapan yang sama (Gambar 14-8). Di kedua lokasi ini tidak terlihat perbedaan yang mencolok baik dalam runtunan genang laut Paleogen maupun runtunan susut laut Neogen.
Lingkungan paralik-darat yang berhubungan dengan daur susut laut berlangsung lebih lama di lingkungan dataran pantai dan dataran delta yang luas, sehingga memungkinkan pembentukan batubara dalam jumlah yang berarti. Masalahnya umur batubara tersebut relatif muda (Plio-Plistosen) sehingga dalam kondisi normal batubaranya masih tergolong lignit sampai sub-bituminus. Di beberapa tempat ada anomali (daerah Tanjungenim, Hadiyanto, 1996) karena kegiatan magma dan kenaikan gradien geothermal serta tingginya paleothermal sehingga menaikkan peringkat batubara.
Batubara yang terdapat pada Formasi Muaraenim di daerah Kungkilan diendapkan di lingkungan rawa atau cekungan limpah banjir yang terbentuk di atas dataran pantai. Endapan batubara ini penyebarannya terbatas karena kontinuitasnya dikontrol oleh bentuk rawa atau cekungan limpah banjir itu sendiri (Gambar 14-9). Lapisan batubara yang penyebarannya lebih luas dan lebih tebal dijumpai di bagian yang lebih distal (ke timurlaut atau ke timur-tenggara kalau dari Batuniding). Daerah Tanjungenim terletak lebih distal, yaitu di lingkungan delta terbukti mengandung endapan batubara jauh lebih banyak daripada daerah Kungkilan (Nursarya, 1977).
Lingkungan dataran pantai juga berkembang di daerah Batuniding, akan tetapi batubara tidak dijumpai dalam endapan limpah banjir. Dimungkinkan cekungan limpah banjir yang terbentuk bersifat temporer sehingga tidak sempat berkembang menjadi rawa yang berasosiasi dengan batubara.
KESIMPULAN
Proses pengisian sedimen ke dalam cekungan busur belakang Sumatera Bagian Selatan di daerah Kungkilan, Batuniding, dan Padangratu menunjukkan adanya dua daur pengendapan. Daur pengendapan pertama dicirikan oleh runtunan genang laut yang membentuk Formasi Kikim, Formasi Talangakar, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai. Daur pengendapan kedua dicirikan oleh runtunan susut laut yang membentuk Formasi Airbenakat, Formasi Muaraenim, dan Formasi Kasai.
Keterdapatan batubara pada cekungan tersebut berhubungan dengan tahapan darat suatu daur pengendapan, baik dalam pra-genang laut Paleogen (Formasi Talangakar) atau tahap akhir susut laut Neogen (Formasi Muaraenim). Batubara yang terdapat di dalam Formasi Talangakar diendapkan pada daerah depresi yang terbentuk pada awal perkembangan cekungan (Kapur Atas). Cekungan tersebut luasnya terbatas sehinga keterdapatan maupun sebaran batubara di dalam formasi ini juga terbatas dan bersifat lokal. Batubara yang terdapat di dalam Formasi Muaraenim diendapkan pada dataran pantai yang sebagian merupakan dataran delta sehingga memungkinkan pengendapan batubara yang lebih merata, konsisten, dan dalam sekala lebih luas. Namun, umur batubara tersebut relatif muda (Pliosen) sehingga lapisan batubara yang terbentuk masih tergolong lignit sampai sub-bituminus.
Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dimulai oleh batuan alas Pratersier yang terdiri atas batuan granit, batuan metasedimen, dan batuan malihan derajat rendah. Secara tidak selaras di atasnya diendapkan batuan gunungapi Formasi Kikim yang berumur Eosen - Oligosen. Runtunan genang laut (fluviatil sampai laut dalam) berumur Oligosen Akhir sampai Miosen Tengah menindih secara tidak selaras di atas Formasi Kikim yang terdiri atas Formasi Talangakar, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai. Mulai Miosen Tengah hingga Plistosen terbentuk runtunan susut laut (laut dangkal sampai fluviatil), yaitu Formasi Airbenakat, Formasi Muaraenim, dan Formasi Kasai.
Tercatat tiga peristiwa gerak-gerak tektonik yang berperan pada perkembangan Cekungan Sumatera Selatan dan proses sedimentasinya. Tektonik pertama berupa gerak tensional pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal yang menghasilkan sesar-sesar bongkah berarah timurlaut-baratdaya atau utara-selatan. Sedimen mengisi lekukan atau terban di atas batuan alas bersamaan dengan kegiatan gunungapi. Tektonik kedua berlangsung pada Miosen Tengah-Akhir (Intra Miosen), menyebabkan pengangkatan tepi-tepi cekungan, dan diikuti pengendapan bahan-bahan klastika. Tektonik ketiga berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen menyebabkan sebagian Formasi Airbenakat dan Formasi Muaraenim yang telah menjadi tinggian tererosi, sedangkan pada daerah yang relatif turun diendapkan Formasi Kasai. Pada akhirnya terjadi pengangkatan dan perlipatan utama di seluruh daerah cekungan yang mengakhiri pengendapan Tersier di Cekungan Sumatera Selatan.
Batubara yang terdapat di dalam Formasi Talangakar secara umum diendapkan di daerah-daerah depresi yang terbentuk pada awal perkembangan cekungan. Depresi tersebut pada umumnya sempit dan dibatasi oleh struktur sesar. Konsekuensinya, keterdapatan maupun sebaran batubara di dalam formasi ini juga terbatas dan bersifat lokal. Batubara yang terdapat di dalam Formasi Muaraenim diendapkan pada dataran pantai yang sebagian merupakan dataran delta. Pada lingkungan pengendapan dataran delta seperti ini sangat mungkin berlangsung pengendapan batubara yang lebih merata, konsisten, dan dalam sekala yang lebih luas.
PENDAHULUAN
Maksud Penelitian ini dilakukan untuk mendukung Kegiatan Rutin Suplemen, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral Tahun Anggaran 1998/1999. Topik utama kegiatan ini adalah Pengkajian Geologi Tersier Sumatera Bagian Selatan, dengan topik khusus tentang hubungannya dengan keterdapatan batubara.
Tujuan penelitian ini untuk lebih memahami siklus pengendapan batuan yang berhubungan dengan pembentukan batubara, baik dalam runtunan genang laut Paleogen maupun runtunan susut laut Neogen. Hasil kegiatan ini telah dapat menggambar 14-kan model pengendapan batubara yang dapat dipakai sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan eksplorasi selanjutnya.
Daerah penelitian meliputi lokasi kegiatan lapangan, meliputi daerah-daerah Kungkilan Kabupaten Ogan Komering Ulu, Batuniding Kabupaten Lahat, dan Padangratu Lampung (Gambar 14-.1).
Metode penyelidikan secara umum merupakan perpaduan antara pekerjaan lapangan dan laboratorium. Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan membuat pengukuran penampang stratigrafi rinci termasuk pengamatan aspek stratigrafi dan sedimentologi serta pengambilan percontoh batuan secara sistematis pada formasi-formasi Tersier-Kuarter. Pekerjaan laboratorium meliputi analisis mikropaleontologi, palinologi, dan petrologi.
GEOLOGI
Ketiga lokasi kegiatan penelitian tersebut secara geologi termasuk daerah cekungan busur belakang Sumatera Selatan. Daerah Kungkilan dan Batuniding mewakili tipe cekungan Neogen, sedangkan daerah Padangratu mewakili tipe cekungan Paleogen (Koesoemadinata, dkk., 1978)
Pengkajian geologi Tersier daerah Kungkilan dan Batuniding lebih ditekankan pada aspek stratigrafi dan sedimentologi karena kedua daerah ini secara tektonik lebih stabil daripada daerah-daerah lain. Penelitian di daerah Padangratu lebih menonjolkan aspek geologi struktur karena perkembangan cekungan di daerah ini sangat dipengaruhi oleh gerak-gerak tektonik.
Daerah Kungkilan
Batuan sedimen dan gunungapi berumur Tersier hingga Kuarter tersingkap di sepanjang Air Kungkilan. Kedudukan perlapisan batuan menunjukkan arah kemiringan antara U 260º T – U 80º T, sedangkan besarnya sudut kemiringan berkisar antara 25º hingga 10º dengan kecenderungan menjadi lebih landai ke arah hilir (timurlaut). Menurut tataan stratigrafi regional (Gafoer dkk., 1994), batuan tersebut dapat dibagi menjadi tujuh formasi, dari tua ke muda adalah Formasi Kikim, Formasi Talangakar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Airbenakat, Formasi Muaraenim, dan Formasi Kasai (Gambar 14-2 dan 14-3).
Formasi Kikim merupakan batuan alas yang berupa lava andesit berwarna abu-abu, berasal dari hasil kegiatan gunungapi, diendapkan di lingkungan darat.
Formasi Talangakar berupa batulempung dan batupasir. Lapisan batupasir lebih berkembang di bagian bawah, sedangkan di bagian atas terutama didominasi oleh batulempung. Batulempung biasanya berwarna abu-abu sampai abu-abu tua, kadang-kadang lanauan serta mengandung fosil moluska, kepingan koral, sisa tumbuhan, dan keratan batubara. Batupasir pada umumnya berwarna abu-abu, berbutir halus hingga kasar, mengandung moluska, serpihan batubara, dan damar. Formasi ini mempunyai ketebalan sekitar 75 m, ditindih selaras oleh Formasi Baturaja, dan diendapkan di lingkungan darat hingga laut dangkal, yaitu di laguna (Nichols, 1989).
Formasi Baturaja terdiri atas batugamping dengan sisipan napal dan batulempung. Batugamping tampak berwarna abu-abu terang hingga putih keabu-abuan dan terdiri atas batugamping pejal dan batugamping berlapis. Formasi ini berketebalan mencapai 85 m dan ditindih selaras oleh Formasi Gumai. Lingkungan pengendapan batuan berhubungan dengan laut yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan terumbu, yaitu laut dangkal dengan kondisi air yang jernih dan hangat (Walker, 1992).
Formasi Gumai terdiri atas batupasir dan batulempung yang membentuk perlapisan selang-seling dengan ketebalan berkisar antara 20-80 cm, namun di beberapa tempat dijumpai selang (interval) batulempung berketebalan 3-10 m. Batupasir berwarna abu-abu kehijauan, mengandung glaukonit dan kadang-kadang kepingan batubara. Struktur perarian silang-siur kurang berkembang dalam lapisan batupasir ini, sebaliknya struktur perarian sejajar berkembang sangat baik. Batulempung berwarna abu-abu muda hingga kehijauan dan kaya foraminifera plangton. Formasi ini diendapkan di lingkungan laut terbuka.
Formasi Airbenakat terdiri atas batupasir, batulempung, batulanau, dan perselingan antara batupasir dan batulempung atau batulanau. Secara umum kehadiran batulempung dan batulanau lebih dominan di bagian bawah dan atas, sedangkan kehadiran batupasir lebih dominan di bagian tengah. Formasi ini berketebalan mencapai 330 m, diendapkan di lingkungan laut dangkal yang dicirikan oleh kehadiran moluska yang melimpah.
Formasi Muaraenim terdiri atas batulempung dengan sisipan batupasir dan batubara. Batulempung pada umumnya berwarna abu-abu sampai abu-abu kehitaman, banyak yang bersifat lanauan, dan sering dijumpai sisa tumbuhan. Lapisan batupasir kebanyakan berwarna abu-abu, berbutir sedang hingga kasar dengan sejumlah butiran berukuran kerikil dan kerakal. Lapisan batubara dengan ketebalan hampir 2 m dijumpai sebagai sisipan di dalam batulempung. Lapisan batubara ini berwarna coklat kehitaman, berkilap kusam, dan bersifat getas dengan pecahan-pecahan yang kasar. Di bagian atas, baik lapisan batupasir maupun batulempung bersifat tufaan. Formasi Muaraenim berketebalan 120 m dan merupakan endapan fluviatil yang dapat dibedakan menjadi endapan alur dan endapan limpah banjir.
Formasi Kasai terdiri tuf berbatuapung, konglomerat, dan batupasir tufan di bagian bawah, sedangkan di bagian atas terutama terdiri atas batulanau tufaan. Formasi Kasai berketebalan 140 meter, diendapkan di lingkungan darat yang dipengaruhi oleh kegiatan gunungapi, dan ditindih tak selaras oleh endapan sungai Kuarter yang terdiri atas kerakal dan pasir kurang padu.
Endapan aluvial menutupi secara tidak selaras satuan-satuan stratigrafi yang lebih tua. Endapan ini terdiri atas kerakal dan pasir yang tidak padu.
Daerah Batuniding
Lintasan pengukuran stratigrafi di daerah ini dilakukan di sepanjang Sungai Cawangsaling yang bermataair di Bukit Sepingtian dan mengalir kearah timurlaut. Di sepanjang Sungai ini tersingkap batuan alas Pratersier maupun batuan gunungapi dan sedimen Tersier - Kuarter. Kedudukan perlapisan batuan yang masih normal menunjukkan arah kemiringan sekitar U 335º T – U 45º T dan besar sudut kemiringan berkisar antara 20º - 70º. Kedudukan perlapisan batuan yang terbalik menunjukkan arah kemiringan sekitar U 245º T – U 65º T dan besar sudut kemiringan berkisar antara 110º - 120º. Mengacu pada pembagian stratigrafi dari Gafoer dkk. (1992), batuan tersebut terbagi menjadi tujuh formasi, dari yang tertua adalah Formasi Kikim, Formasi Talangakar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Airbenakat, Formasi Muaraenim, dan Formasi Kasai (Gambar 14-4 dan 14-5).
Litologi Formasi Kikim terdiri atas tuf litik dan tuf lapili yang berasal dari erupsi gunungapi. Cekungan pada waktu itu masih berupa daratan
Formasi Talangakar dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni bagian bawah dan bagian atas. Bagian bawah berketebalan sekitar 15 meter terdiri atas runtunan yang diawali oleh breksi disusul batupasir kuarsa yang mengandung sisa tumbuhan dengan sisipan batulanau. Bagian atas setebal 3 meter terdiri atas batulempung berwarna abu-abu tua, menyerpih bintal-bintal siderit. Formasi ini diendapakan tak selaras di atas Formasi Kikim di lingkungan aliran banjir melalui alur sungai yang dangkal atau di atas permukaan dalam bentuk sheetflood (Miall, 1977) hingga laut dangkal laguna (Horne and Fern, 1978 dalam Walker and James, 1992) dengan pengaruh genang laut.
Formasi Baturaja terdiri atas batugamping bioklastika dengan selingan napal. Formasi ini berketebalan 140 m, menindih selaras Formasi Talangakar, dan merupakan fasies inti terumbu bagian luar hingga terumbu depan.
Formasi Gumai berketebalan sekitar 70 meter, berupa selang-seling batupasir dan batulempung Perlapisan batupasir terlihat lebih dominan di bagian bawah, secara berangsur ke atas batulempung menjadi dominan, bahkan ada batupasir yang hanya berkembang sebagai lamina di dalam batulempung. Batuan merupakan endapan tipe flysch yang terbentuk di lingkungan laut dalam (Walker, 1992).
Formasi Airbenakat terdiri atas batulanau berwarna abu-abu kebiruan dengan sisipan batulempung. Baik batulanau maupun batulempung mengandung moluska laut yang diendapkan di lingkungan laut dangkal, termasuk fasies dataran lumpur di lingkungan intertidal (Dalrymple dkk, 1991).
Formasi Muaraenim terdiri atas batupasir dan batulempung yang mana batulempung lebih dominan serta mengandung sisa tumbuhan terutama berupa cetakan daun dengan sisipan tuf. Formasi ini berketebalan sekitar 180 m, menindih selaras Formasi Airbenakat, dan merupakan hasil endapan sungai bermeander yang dicirikan oleh alur-alur dangkal, mudah perpindah-pindah, dan sering banjir (Miall, 1992) serta berasosiasi dengan sistem pengendapan delta.
Formasi Kasai terdiri atas batupasir dan batulempung, selain tuf batuapung khususnya di bagian bawah, konglomerat, dan batulanau. Batuan merupakan hasil endapan alur sungai, aliran banjir, rawa, dan aliran batuapung yang berlangsung di lingkungan dataran aluvial.
Daerah Padangratu
Berdasarkan pembagian peta Geologi Lembar Kotaagung (Amin, dkk., 1994), batuan di daerah ini terbagi menjadi beberapa satuan stratigrafi, yang berumur dari Paleozoikum sampai Kuarter. Urut-urutan stratigrafi tersebut dari yang tertua adalah Komplek Gunungkasih, Formasi Menanga, Formasi Kikim, Formasi Talangakar, Formasi Gading, Formasi Hulusimpang, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Kasai, Formasi Lampung, Batuan gunungapi Kuarter, dan Aluvium (Gambar 14-. 6).
Dalam kegiatan kali ini dilakukan interpretasi foto udara, terutama yang berkenaan dengan struktur geologi regional, pengukuran struktur geologi di lapangan, dan analisis struktur geologi terukur. Selain itu dilakukan pengamatan ciri litologi terutama batuan pendukung Formasi Talangakar, namun hanya terbatas pada bagian yang mengandung lapisan batubara dan yang berdekatan. Pembahasan mengenai tataan stratigrafi masing-masing formasi didasarkan pada peta geologi regional yang sudah ada.
Lapisan batubara yang terdapat di dalam Formasi Talangakar ini tampak berwarna hitam, mengkilap, bersifat getas dengan pecahan-pecahan yang konkoidal, mengandung pirit dengan lapisan pengotor serpih hitam. Ketebalan lapisan batubara berkisar antara 0,3 m hingga ini lebih dari 0,8 m (bagian bawah tidak tersingkap) dan kedudukan lapisannya U 270 T/20. Lapisan batubara pada Formasi Talangakar di daerah ini umumnya terbentuk pada lingkungan rawa dan cekungan limpah banjir sistem sungai bermeander.
Sintesa yang dikemukakan oleh Tjia (1977), Pulunggono, dkk. (1992), dan Holder, dkk. (1995) dipakai sebagai acuan dan sebagai studi perbandingan antara sejarah tektonik regional Pulau Sumatera dengan daerah penelitian. Pulau Sumatera mengalami empat kali deformasi tektonik dan sistem sesar, dari Jura Akhir sampai dengan Resen. Deformasi pertama berlangsung pada Jura Akhir yang berupa fase kompresi dan daerah Padangratu masih berada di kerak samudera. Deformasi kedua berlangsung pada Kapur Akhir sampat Tersier Awal yang berupa fase ekstensi dan daerah Padangratu termasuk ke dalam jalur tunjaman. Deformasi ketiga terjadi pada Miosen Tengah sampai Resen yang berupa fase kompresi kedua dan daerah Padangratu termasuk ke dalam busur magmatik pada bagian tengah dan baratdaya. Deformasi keempat masih berlangsung aktif sekarang ini berupa pengatifan kembali beberapa sesar yang sudah terbentuk sebelumnya. Daerah penelitian yang terletak di sebelah timur Segmen Sesar Semangko dipengaruhi oleh sistem tegasan utama dan sistem sesar seperti terlihat pada Gambar 14-. 7. Penafsiran foto udara memperlihatkan bahwa sebaran Formasi Talangakar di daerah ini tampak dibatasi oleh sesar utama, yaitu sesar No. 8B dan sesar No.9A berarah U 32º T - U 212 T dan U 36 T-U 216 T.
LINGKUNGAN PENGENDAPAN DAN KETERDAPATAN BATUBARA
Daerah Kungkilan berada di lereng timurlaut Pegunungan Garba dan merupakan bagian tepian Cekungan Sumetera Selatan, Subcekungan Palembang. Daerah Batuniding berada di cekungan yang sama dan di sebelah baratdaya dibatasi oleh Pegunungan Gumai. Secara tektonik kedua daerah ini relatif stabil dibandingkan bagian lain di dalam cekungan. Pada kala Eosen baik daerah Kungkilan maupun Batuniding masih berupa darat, diendapkan bahan gunungapi, dan membentuk Formasi Kikim. Lava andesit banyak diendapkan di daerah Kungkilan, sedangkan di daerah Batuniding diendapkan piroklastik. Kegiatan gunungapi itu berlangsung sampai Oligosen Akhir dan disusul proses peneplanation.
Genang laut dimulai pada awal Miosen sehingga bahan hasil kegiatan gunungapi tersebut digantikan oleh klastik kuarsaan dan bahan rombakan hasil pengikisan Formasi Kikim yang membentuk Formasi Talangakar. Di bawah pengaruh genang laut, cekungan di daerah Kungkilan dan Batuniding berkembang menjadi lingkungan darat-paralik hingga laut dangkal.
Fasies darat-paralik Formasi Talangakar merupakan bagian terpenting yang berkaitan dengan keterdapatan batubara. Di daerah Kungkilan bagian ini tidak tersingkap, sebaliknya tersingkap baik di daerah Batuniding. Lingkungan darat yang berkembang adalah sistem fluvial yang didominasi oleh aliran banjir, baik yang melalui alur sungai maupun di atas permukaan (sheetflood). Sistem sungai dengan kondisi seperti itu biasanya terbentuk di daerah peneplain (Steel, 1974). Batubara dapat terbentuk dalam lingkungan seperti itu, yakni di cekungan limpah banjir atau di rawa-rawa interchannel. Baik cekungan limpah banjir maupun rawa-rawa tidak berkembang di daerah ini sehingga di daerah Batuniding tidak dijumpai batubara. Sebaliknya di daerah Padangratu, proses pengendapan yang sama namun dipengaruhi oleh struktur geologi setempat telah mengendapkan beberapa lapisan batubara dengan ketebalan berkisar antara 0,3 - 0,8 m.
Lingkungan darat-paralik Formasi Talangakar tidak berlangsung lama, menyusul perubahan ke lingkungan laguna (kecuali daerah Padangratu). Perubahan ini sangat berpengaruh pada pembentukan batubara dalam formasi ini, karena pengaruh laut yang kuat mencegah pembentukan batubara. Selain itu, lingkungan laguna laut dangkal dan fauna laut khususnya moluska yang melimpah, tidak sesuai bagi pembentukan batubara.
Perubahan lingkungan pengendapan terus berlangsung di bawah pengaruh genang laut. Lingkungan pengendapan di daerah Kungkilan dan Batuniding berkembang menjadi laut dangkal yang jernih dan hangat sehingga terjadi pertumbuhan terumbu dan pengendapan karbonat Formasi Baturaja. Terumbu itu tumbuh sebagai koloni koral yang berasosiasi dengan ganggang, moluska, bryozoa, dan foraminifera.
Proses genang laut mencapai puncaknya pada waktu Formasi Gumai diendapkan. Lingkungan laut di daerah Kungkilan dan terutama Batuniding menjadi semakin dalam sehingga tidak lagi cocok bagi pertumbuhan terumbu maupun pengendapan karbonat. Di daerah batuniding diendapkan sedimen tipe flysch yang terdiri atas selang-seling tipis batupasir dan batulempung. Endapan serupa namun dalam fasies yang lebih proximal diendapkan di daerah Kungkilan. Suplai klastika ke dalam cekungan di daerah yang disebut terakhir menunjukkan peningkatan yang berarti. Laju sedimentasi yang tinggi ini sangat boleh jadi disebabkan oleh gerak-gerak tektonik yang menyebabkan pengangkatan. Akibatnya terjadi peningkatan kegiatan erosi, kemudian disusul oleh peningkatan laju sedimentasi dalam cekungan. Penjelasan ini diperkuat dengan ditemukannya kepingan batubara dalam lapisan batupasir yang diduga berasal dari Formasi Talangakar yang tererosi.
Tanda dimulainya susut laut sudah tampak menjelang akhir pengendapan Formasi Gumai. Adanya endapan lempung berkandungan foraminifera yang melimpah menunjukkan lingkungan pengendapan yang relatif lebih dangkal daripada sebelumnya. Perubahan lingkungan pengendapan itu semakin jelas pada saat Formasi Airbenakat mulai diendapkan yang berlangsung dalam zona inner sublittoral yang dipengaruhi sistem pasang-surut, dicirikan oleh kehadiran moluska yang melimpah
Formasi Muaraenim dengan sistem sungai bermeander yang dicirikan oleh alur-alurnya yang relatif dangkal dan berjalin-jemalin. Akibatnya endapan banjir berkembang sangat ekstensif terutama di dataran limpah banjir dan cekungan limpah banjir. Di antara cekungan limpah banjir ini ada yang berumur panjang dan berkembang menjadi lingkungan rawa. Batubara yang terdapat di daerah Kungkilan telah diendapkan pada lingkungan seperti ini. Berdasarkan data palinologi, lingkungan di daerah Kungkilan pada waktu itu ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan terdiri atas akasia, durian, mara, nangka, rotan, waru, jambu, pohon Rasamala, dan masih banyak lagi. Tumbuhan tersebut merupakan bahan baku dalam pembentukan batubara.
Puncak susut laut terjadi bersamaan dengan kegiatan gunungapi, cekungan berupa dataran aluvial, dan diendapkan Formasi Kasai. Bahan gunungapi tersebut ditranspor melalui alur-alur sungai dan permukaan sebagai aliran banjir atau secara langsung sebagai aliran piroklastik. Pengendapan Formasi Kasai tidak langsung merata di semua tempat. Daerah Kungkilan termasuk daerah tinggian sehingga proses erosi mengikis bagian atas Formasi Muaraenim sebelum Formasi Kasai diendapkan. Daerah Batuniding merupakan rendahan sehingga pengendapan berlangsung secara menerus.
Subcekungan Palembang di daerah Kungkilan dan Batuniding pada dasarnya berkembang dengan pola pengendapan yang sama (Gambar 14-8). Di kedua lokasi ini tidak terlihat perbedaan yang mencolok baik dalam runtunan genang laut Paleogen maupun runtunan susut laut Neogen.
Lingkungan paralik-darat yang berhubungan dengan daur susut laut berlangsung lebih lama di lingkungan dataran pantai dan dataran delta yang luas, sehingga memungkinkan pembentukan batubara dalam jumlah yang berarti. Masalahnya umur batubara tersebut relatif muda (Plio-Plistosen) sehingga dalam kondisi normal batubaranya masih tergolong lignit sampai sub-bituminus. Di beberapa tempat ada anomali (daerah Tanjungenim, Hadiyanto, 1996) karena kegiatan magma dan kenaikan gradien geothermal serta tingginya paleothermal sehingga menaikkan peringkat batubara.
Batubara yang terdapat pada Formasi Muaraenim di daerah Kungkilan diendapkan di lingkungan rawa atau cekungan limpah banjir yang terbentuk di atas dataran pantai. Endapan batubara ini penyebarannya terbatas karena kontinuitasnya dikontrol oleh bentuk rawa atau cekungan limpah banjir itu sendiri (Gambar 14-9). Lapisan batubara yang penyebarannya lebih luas dan lebih tebal dijumpai di bagian yang lebih distal (ke timurlaut atau ke timur-tenggara kalau dari Batuniding). Daerah Tanjungenim terletak lebih distal, yaitu di lingkungan delta terbukti mengandung endapan batubara jauh lebih banyak daripada daerah Kungkilan (Nursarya, 1977).
Lingkungan dataran pantai juga berkembang di daerah Batuniding, akan tetapi batubara tidak dijumpai dalam endapan limpah banjir. Dimungkinkan cekungan limpah banjir yang terbentuk bersifat temporer sehingga tidak sempat berkembang menjadi rawa yang berasosiasi dengan batubara.
KESIMPULAN
Proses pengisian sedimen ke dalam cekungan busur belakang Sumatera Bagian Selatan di daerah Kungkilan, Batuniding, dan Padangratu menunjukkan adanya dua daur pengendapan. Daur pengendapan pertama dicirikan oleh runtunan genang laut yang membentuk Formasi Kikim, Formasi Talangakar, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai. Daur pengendapan kedua dicirikan oleh runtunan susut laut yang membentuk Formasi Airbenakat, Formasi Muaraenim, dan Formasi Kasai.
Keterdapatan batubara pada cekungan tersebut berhubungan dengan tahapan darat suatu daur pengendapan, baik dalam pra-genang laut Paleogen (Formasi Talangakar) atau tahap akhir susut laut Neogen (Formasi Muaraenim). Batubara yang terdapat di dalam Formasi Talangakar diendapkan pada daerah depresi yang terbentuk pada awal perkembangan cekungan (Kapur Atas). Cekungan tersebut luasnya terbatas sehinga keterdapatan maupun sebaran batubara di dalam formasi ini juga terbatas dan bersifat lokal. Batubara yang terdapat di dalam Formasi Muaraenim diendapkan pada dataran pantai yang sebagian merupakan dataran delta sehingga memungkinkan pengendapan batubara yang lebih merata, konsisten, dan dalam sekala lebih luas. Namun, umur batubara tersebut relatif muda (Pliosen) sehingga lapisan batubara yang terbentuk masih tergolong lignit sampai sub-bituminus.
0 komentar:
Posting Komentar