Untuk membangun sistem mitigasi bencana alam (geologi), pertama tama
yang harus dilakukan adalah mengkaji dan menganalisa bagaimana suatu
bahaya geologi dapat berubah menjadi bencana dan seberapa besar tingkat
probabilitas daerah yang rentan bahaya geologi terkena bencana geologi
serta resiko apa saja yang mungkin terjadi apabila bencana geologi
menimpa daerah tersebut. Bahaya geologi akan berubah menjadi bencana
geologi hanya jika bahaya tersebut mengakibatkan korban jiwa atau
kerugian harta benda.
Sebagai contoh jika suatu gempa yang sangat kuat terjadi di daerah yang
tidak berpenghuni, maka gempa tersebut boleh jadi hanya akan menjadi
catatan statistik saja bagi para seismolog, akan tetapi sebaliknya
apabila gempa tersebut terjadi di kawasan yang penghuninya sangat padat,
seperti gempa yang terjadi di Bantul, Yogyakarta pada tahun 2006,
walaupun kekuatan gempanya tidak begitu besar namun menyebabkan
kerusakan yang sangat luas serta menelan korban jiwa yang tidak sedikit.
Pertanyaannya selanjutnya adalah mengapa hal ini dapat terjadi ?
Jawabannya adalah karena hampir semua bangunan yang ada di wilayah
tersebut tidak dirancang sebagai bangunan tahan gempa, sehingga ketika
terjadi gempa, bangunan-bangunan tersebut runtuh yang mengakibatkan
banyak penghuninya menemui ajalnya terkena oleh reruntuhan rumahnya.
Oleh karena itu diperlukan suatu standarisasi bangunan tahan gempa,
terutama untuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah wilayah yang
rentan terkena bahaya gempabumi, sehingga dapat menyelamatkan
penghuninya ketika terjadi gempabumi. Penerapan strategi pengelolaan
resiko bencana berbasis masyarakat saat ini sudah mulai diterapkan dan
program ini didukung oleh pemerintah, baik dukungan yang berupa bantuan
keuangan dan pembangunan kembali rumah rumah yang rusak melalui
standarisasi bangunan tahan gempa.
Bahaya geologi yang berada di muka bumi pada hakekatnya merupakan hasil
dari proses-proses geologi, baik yang bersifat endogenik maupun
eksogenik dimana proses proses tersebut tidak bisa dikendalikan oleh
manusia. Dalam beberapa kasus, tingkat kerusakan relatif terhadap jumlah
korban dan kerugian harta benda dapat dipakai sebagai pembanding antara
skala bencana dan resiko bencana yang terjadi di suatu wilayah. Manusia
dapat juga menjadi faktor penyebab yang merubah bahaya geologi menjadi
bencana geologi serta menjadi faktor penentu dari tingkat kerusakan
suatu bencana, seperti misalnya pertumbuhan penduduk yang tinggi,
kemiskinan, degradasi lingkungan, dan kurangnya informasi. Meskipun
ke-empat faktor tersebut dianggap sebagai faktor yang saling berpengaruh
satu dan lainnya serta ke-empat faktor tersebut sulit dipisahkan mana
yang paling dominan berpengaruh terhadap tingkat kerusakan suatu
bencana.
Kerentanan terhadap bencana geologi di suatu wilayah akan semakin besar
seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan menjadi salah satu
faktor utama dari penyebab bencana geologi. Tingkat pertumbuhan penduduk
yang tinggi secara langsung akan berdampak pada tingginya tingkat
pembangunan infrastruktur. Apabila tidak ada upaya upaya untuk mencegah
bahaya geologi yang mungkin terjadi, maka apabila bencana geologi
benar-benar terjadi di kawasan tersebut maka sudah barang tentu akan
memakan korban serta kerugian harta benda yang tinggi pula. Dibeberapa
kawasan yang konsentrasi penduduknya tinggi, meskipun sudah menpunyai
sistem peringatan dini untuk suatu bahaya geologi tertentu, namun untuk
menyebarkan informasi dan peringatan ke setiap orang di seluruh kawasan
tersebut tidak dimungkinkan, sehingga sangat memungkinkan setiap orang
bertindak dan merespon suatu peringatan bahaya sesuai dengan persepsinya
masing-masing. Dan hal ini akan menimbulkan kepanikan dan kekacauan di
masyarakat yang pada akhirnya dapat menimbulkan korban jiwa yang lebih
besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih banyak atas partisipasi dan informasinya