Senin, 21 Januari 2013
Metode Coal Classification Scheme (ISO)
Metode Coal Classification Scheme (ISO)
Klasifikasi ISO dipergunakan untuk industri kokas dan
pembangkit listrik. Klasifikasi ISO didasarkan pada kandungan VM batubara dalam
dry ash free (daf), nilai muai bebas
(free swelling index (FSI)) atau Roga
index, dan Gray King Coke Type.
Metode Australia Classification
Metode
Australia
Classification
Klasifikasi batubara Australia didasarkan pada VM, FSI, Gray King Coke Type dan kandungan ash. Parameter ash penting bagi klasifikasi ini, karena batubara Australia
memiliki kadar ash tinggi.
Metode ECE Classification
Metode
ECE Classification
ECE membuat sistem klasifikasi yang dapat dipergunakan
secara luas, pada tahun 1965 yang kemudian menjadi standar international.
Sistem ini mengelompokkan batubara dalam class,
group dan sub-group. Coal class mempergunakan CV atau VM
sebagai patokan; Coal group
mempergunakan Gray-King coke type
atau maximum dilatation pada Audibert-Arnu dilatometer test sebagai patokan;
sedangkan coal sub-group
mempergunakan Crucible swelling number
dan Roga test sebagai patokan.
Sistem ini mampu menunjukkan coal rank dan potensi penggunaannya,
terutama coal group dan coal sub-group yang menjelaskan perilaku
batubara jika dipanaskan secara perlahan maupun secara cepat sehingga dapat
memberikan gambaran kemungkinan penggunaannya. Pada tahun 1988 sistem ini dirubah dengan lebih
menekankan pada pengukuran petrographic.
Saat ini, sistem ini didasarkan pada vitrinite
reflectance dan reflectrogram,
komposisi maceral, FSI, VM, ash, sulfur, dan gross CV.
Metode Fuel Ratio
Metode Fuel
Ratio
Klasifikasi
berdasarkan perbandingan antara prosentase karbon tertambat dengan presentase
zat terbang dan dapat dirumuskan sebagai berikut :
SPEC BATUBARA UNTUK PLN
Spesifikasi
Batubara untuk Pembangkit Listrik
ANALYSIS
|
RANGE
|
TYPICAL
|
Proximat Analysis (ar, % by wt) :
- Volatile Matter
- Fixed Carbon
- Total Moisture
- Ash Content
Hardgrove Grindability Index (HGI)
Heating Value (ar, Kcal/kg) :
- Net Calorific Value
- Gross Calorific Value
Ultimate Analysis (ar, % by wt) :
- Carbon
- Hydrogen
- Nitrogen
- Oxygen
- Sulfur
Ash Analysis (ar, % by wt) :
- Silica
- Iron
- Alluminium Dioxide (Al2O3)
- Calsium Oxide (CaO)
- Magnesium Oxide (MgO)
- Sodium Oxide (Na2O)
- Potasium Oxide (K2O)
Fusion Point of Ash (in
reducing atmosphere, o C) :
- Initial Deformation
- Fluid
Ukuran butiran :
- Lolos ayakan 50
mm, 95 %
- Lolos ayakan >
50 mm, 5 %
|
33,47 – 43,22
32,10 – 43,50
17,38 – 32,23
2,27 – 19,72
41,00 – 60,00
3681 – 4967
4047 – 5309
52,94 – 80,57
3,54 – 8,99
0,41 – 1,37
9,37 – 24,63
0,07 -2,49
37,10 – 67,40
2,50 – 10,78
7,40 – 34,50
1,50 – 8,40
1,40 – 4,40
1,80 – 6,60
0,20 – 0,70
782 – 1500
896 – 1580
|
40,00
37,00
28,00
8,00
48,00
4620
5000
56,23
5,31
0,75
13,78
1,00
54,62
5,40
22,54
2,40
2,40
4,10
0,30
1250 Appr
1350+
|
GAR. GAD DAN NAR
Istilah persyaratan
kalori dalam transaksi batubara dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
a. GAD
(Gross CV; ADB)
Untuk
kondisi ini, tampilan kalori cenderung tidak menunjukkan besaran kalor secara
tepat yang akan digunakan dalam pemanfaatan batubara, karena Free Moisture tidak termasuk
di dalamnya.
b. GAR
(Gross CV; ARB)
Karena
analisis untuk kalori pada kondisi ini memasukkan faktor kadar air total, maka
kondisi ini menunjukkan batubara dalam keadaan siap digunakan. Akan tetapi, tampilan kalori masih belum menunjukkan
kalor yang efektif untuk dimanfaatkan dalam konversi energi yang bermanfaat.
c. NAR
(Net CV; ARB)
Kondisi inilah yang benar – benar menampilkan energi
panas efektif dalam pemanfaatan batubara. Secara ringkasnya, transaksi
komoditas batubara (uap) sebenarnya sama saja dengan “membeli kalor (efektif)”.
Sehingga dapat dipahami bahwa munculnya prasyarat NAR merupakan sesuatu yang
logis. Untuk
mendapatkan nilai GCV dalam NAR ini, perlu dilakukan perhitungan dengan rumus
seperti di bawah
NAR
(kcal/kg) = GAR (kcal/kg) – 50.7H – 5.83TM ………. (3)
Beberapa
hal yang perlu di perhatikan dari persamaan di atas adalah:
- NAR
adalah NCV dalam ARB.
- GAR adalah GCV dalam ARB. Karena biasanya dalam ADB,
maka harus dikonversi ke ARB.
- H (kadar hidrogen) biasanya dalam DB atau DAF sehingga
harus dikonversi ke ARB.
Menggunakan formula dari tabel 2 dan persamaan (3)
diatas, kita akan mencoba mengkonversi GCV dari sampel batubara dalam tabel 1
ke NCV berbasis ARB. Karena pada sampel tersebut tidak dilakukan analisis untuk
unsur H (hidrogen), maka besaran angka yang akan digunakan disesuaikan dengan
tipikal nilai H untuk batubara di daerah tersebut, dalam hal ini sekitar 5.4
(DAF).
Untuk
konversi kalori dari GCV (ADB) ke GCV (ARB), maka berdasarkan tabel 3,
GCV
(ARB) = 5,514 kcal/kg.
Sedangkan
perhitungan dari H (DAF) ke H (ARB), maka berdasarkan formula tabel 2,
H (ARB)
= 4.18%.
Bila
angka – angka tersebut disubstitusi ke persaman (3), maka
NCV
(ARB) = 5,191 kcal/kg.
Dengan
demikian, maka:
Gross
ADB (GAD) = 5,766 kcal/kg;
Gross
ARB (GAR) = 5,514 kcal/kg;
Net ARB
(NAR) = 5,191 kcal/kg.
Yang
harus diperhatikan adalah bahwa meskipun terdapat 3 nilai yang berbeda untuk
kalori, tapi semuanya
merujuk ke batubara yang sama. Adapun angka mana yang akan digunakan dalam kontrak
pembelian, tergantung dari kesepakatan pembeli dan penjual. Sebagai
contoh konkret dalam hal ini :.
Bila
indeks harga untuk batubara berkalori 6,000 kcal/kg (GCV; ADB) adalah $35.00/t
FOBT misalnya, maka harga batubara di kontrak pembelian dalam Gross ADB
berdasarkan calorie parity
adalah 5,766/6,000 X $35.00/t = $33.64/t.
Berikutnya bila kesepakatan kontrak pembelian adalah
dalam Net ARB. Bila index untuk batubara berkalori 6,000 kcal/kg
tadi dalam Net ARB adalah 5,500 kcal/kg, maka harga batubara akan menjadi
5,191/5,500 X $35.00/t = $ 33.03/t. (Dalam hal ini, harga index tidak
tergantung dari basis analisis).
UBC
Upgraded Brown Coal (UBC)
merupakan proses peningkatan nilai kalori batubara kalori rendah melalui
penurunan kadar air lembab dalam batubara. Air yang terkandung dalam batubara
terdiri dari air bebas (free moisture) dan air lembab (inherent
moisture).
Air bebas adalah air yang terikat secara mekanik dengan batubara
pada permukaan dalam rekahan atau kapiler yang mempunyai tekanan uap normal.
Adapun air lembab adalah air terikat secara fisik pada struktur pori-pori
bagian dalam batubara dan mempunyai tekanan uap yang lebih rendah daripada
tekanan normal.Kandungan air dalam batubara baik air bebas maupun air lembab
merupakan faktor yang merugikan karena memberikan pengaruh yang negatif terhadap
proses pembakarannya. Penurunan kadar air dalam batubara, dapat dilakukan
dengan cara mekanik atau perlakuan panas. Pengeringan cara mekanik efektif
untuk mengurangi kadar air bebas dalam batubara basah, sedangkan penurunan
kadar air lembab harus dilakukan dengan cara pemanasan atau penguapan.
Proses UBC merupakan
salah satu cara penghilangan kadar air dalam batubara melalui proses penguapan
(evaporasi). Dibandingkan dengan teknologi upgrading lainnya, seperti hot
water drying (HWD) atau steam drying (SD) yang dilakukan pada
temperatur diatas 275oC dan tekanan yang cukup tinggi 5.500 kpa
(Baker,dkk.,1986), proses UBC sangat sederhana karena temperature dan tekanan
yang digunakan lebih rendah, yaitu 150 – 160oC dengan tekanan 350
Kpa. Dengan rendahnya temperatur dan tekanan, pengeluaran tar dari batu bara
belum sempurna, karenya perlu ditambahkan zat aditif sebagai penutup permukaan
batubara seperti kanji, tetes tebu (mollase), slope pekat (fuse oil),
minyak residu, dan lain-lain. Untuk proses UBC sebagai aditif digunakan low
sulfur wax residue (LSWR) yang merupakan senyawa organik yang beberapa
sifat kimianya mempunyai kesamaan dengan batubara. Denagn kesamaan sifat kimia
tersebut, residu yang masuk kedalam pori-pori batubara akan kering kemudian
bersatu denagan batubara. Lapisan minyak ini cukup kuat dan dapat menempel pada
waktu yang cukup lama sehingga batubara dapat disimpan di tempat terbuka untuk
jangka waktu yang cukup lama (Couch, 1990)
Salah satu alternative
batubara produk proses UBC adalah dalam bentuk slurry atau disebut juga
dengan coal water mixture (CWM) atau coal water fuel (CWF) yang
mempunyai viskositas yang ekivalen dengan minyak berat.
Hasil penelitian pada
pilot plant UBC dengan kapasitas 5 ton/hari, yang dibangun dan beroperasi di
Palimanan Cirebon sejak tahun 2003 dengan commissioning menggunakan
batubara Binungan, Kalimantan Timur (Umar,dkk.,2003) menunjukkan bahwa
karakteristik batubara kalori rendah anatar satu daerah dengan daerah lainnya
berbeda, sehingga perlakuan dalam proses UBC harus berbeda pula. Hali ini
ditunjukkan dengan perbedaan hasil evaluasi unjuk kerja peralatan proses UBC,
terutama pada slurry dewatering, decanter (pemisahan batubara-minyak) dan
pengeringan batubara. Penelitian dengan batubara Samarangau, Kalimantan Timur,
diketahui bahaa kecepatan umpan dan temperatur proses mempengaruhi kualitas
batubara hasil proses. Kecepatan umpan 100 kg/jam, temperatur 160oC
dan tekanan 300 Kpa memberikan hasil yang terbaik dengan persen penurunan kadar
air terbesar, yaitu 94,80%. Pada kondisi ini nilai kalor dari 4657 kal/gr naik
menjadi 6632 kal/gr atau persen kenaikan 40,6 % (Umar,dkk.,2005)
Kandungan Air (Moisture content)
Dalam batubara, moisture content paling sedikitnya
terdiri atas satu senyawa kimia tunggal. Wujudnya dapat berbentuk air yang
dapat mengalir dengan cepat dari dalam sampel batubara, senyawa teradsorpsi,
atau sebagai senyawa yang terikat secara kimia. Sebagian moisture merupakan
komponen zat mineral yang tidak terikat pada batubara.
Dalam ilmu perbatuan, dikenal istilah moisture dan air. Moisture
didefinisikan sebagai air yang dapat dihilangkan bila batubara dipanaskan
sampai suhu 105°C. Sementara itu, air dalam batubara ialah air yang terikat
secara kimia pada lempung.
Semua batubara mempunyai pori-pori berupa
pipa-pipa kapiler, dalam keadaan alami pori-pori ini dipenuhi oleh air. Didalam
standar ASTM, air ini disebut moisture bawaan (inherent moisture). Ketika batubara ditambang dan diproses, air
dapat teradsorpsi pada permukaan kepingan batubara, menurut standar ASTM air
ini disebut moisture permukaan (surface moisture). Air
yang terbentuk dari penguraian fraksi organik batubara atau zat mineral secara
termis bukan merupakan bagian dari moisture dalam batubara.
Moisture yang datang dari luar saat batubara itu ditambang dan diangkut
atau terkena hujan selama penyimpanan disebut free moisture (standar ISO) atau air-dry loss (standar ASTM). Moisture jenis
ini dapat dihilangkan dari batubara dengan cara dianginkan atau
dikering-udarakan. Moisture in air-dried sample (ISO) atau residual moisture (ASTM) ialah moisture yang
hanya dapat dihilangkan bila sampel batubara kering-udara yang berukuran lebih
kecil dari 3 mm (-3 mm) dipanaskan hingga 105°C. Penjumlahan antara free moisture
dan residual moisture disebut total moisture. Data moisture dalam batubara
kering-udara ini digunakan untuk menghitung besaran lainnya dari basis
kering-udara (adb), bebas- ash (daf) dan basis kering, bebas-mineral matter
(dmmf).
Kandungan air total merupakan dasar penilaian yang sangat
penting. Secara umum, tinggi rendahnya kandungan air berpengaruh pada beberapa
aspek teknologi penggunaan batubara terutama dalam penggunaan untuk tenaga uap.
Dalam penggerusan, kelebihan kandungan air akan berakibat pada komponen mesin
penggerus karena abrasi. Parameter lain yang terpengaruh oleh kandungan air
adalah nilai kalor. Semakin besar kadar air yang terkandung oleh batubara maka
akan semakin besar pula nilai kalor dalam pembakaran.
Penentuan kandungan air didalam batubara bisa dilakukan melalui
proses satu tahap atau proses dua tahap. Proses dilakukan dengan cara pemanasan
sampel sampai terjadi kesetimbangan kandungan air didalam batubara dan udara.
Penentuan kandungan air dengan cara tersebut dilakukan pada temperatur diatas
titik didih air (ASTM 104-110o C).Kandungan Abu (Ash content)
Coal ash didefinisikan
sebagai zat organik yang tertinggal setelah sampel batubara dibakar (incineration)
dalam kondisi standar sampai diperoleh berat yang tetap. Selama pembakaran
batubara, zat mineral mengalami perubahan, karena itu banyak ash umumnya
lebih kecil dibandingkan dengan banyaknya zat mineral yang semula ada didalam
batubara. Hal ini disebabkan antara lain karena menguapnya air konstitusi (hidratasi) dan
lempung, karbon dioksida serta karbonat, teroksidasinya pirit menjadi besi
oksida, dan juga terjadinya fiksasi belerang oksida.
Ash batubara, disamping ditentukan kandungannya (ash
content), ditentukan pula susunan (komposisi) kimianya dalam analisa ash
dan suhu leleh dalam penentuan suhu leleh ash.
Abu merupakan
komponen non-combustible organic yang tersisa pada saat batubara
dibakar. Abu mengandung oksida-oksida logam seperti SiO2, Al2O3, Fe2O3, dan
CaO, yang terdapat didalam batubara. Kandungan abu diukur dengan cara membakar
dalam tungku pembakaran (furnace)
pada suhu 815°C. Residu yang terbentuk merupakan abu dari batubara.
Dalam
pembakaran, semakin tinggi kandungan ash batubara, semakin rendah panas
yang diperoleh dari batubara tersebut. Sebagai tambahan, masalah bertambah pula
misalnya untuk penanganan dan pembuangan ash hasil pembakaran.
Kandungan Fixed carbon
Fixed Carbon (FC)
menyatakan banyaknya karbon yang terdapat dalam material sisa setelah volatile
matter dihilangkan. FC
ini mewakili sisa penguraian dari komponen organik batubara ditambah sedikit
senyawa nitrogen, belerang, hidrogen dan mungkin oksigen yang terserap atau
bersatu secara kimiawi. Kandungn FC digunakan sebagai indeks hasil kokas dari
batubara pada waktu dikarbonisasikan, atau sebagai suatu ukuran material padat
yang dapat dibakar di dalam peralatan pembakaran batubara setelah fraksi zat
mudah menguap dihilangkan. Apabila ash atau zat mineral telah dikoreksi,
maka kandungan FC dapat dipakai sebagai indeks rank batubara dan
parameter untuk mengklasifikasikan batubara.
Fixed Carbon ditentukan dengan perhitungan : 100% dikurangi persentase moisture, VM,
dan ash (dalam basis kering udara (adb)).
Data Fixed Carbon digunakan dalam mengklasifikasikan
batubara, pembakaran, dan karbonisasi batubara. Fixed Carbon kemungkinan
membawa pula sedikit presentase nitrogen, belerang, hidrogen, dan mungkin pula
oksigen sebagai zat terabsorbsi atau bergabung secara kimia.
Fixed Carbon merupakan
ukuran dan padatan yang dapat terbakar yang masih berada dalam peralatan
pembakaran setelah zat-zat mudah menguap yang ada dalam batubara keluar. Ini
adalah salah satu nilai yang digunakan didalam perhitungan efesiensi peralatan
pembakaran.
Volatile Matter
Definisi
volatile matter (VM) ialah banyaknya zat yang hilang bila sampel
batubara dipanaskan pada suhu dan waktu yang telah ditentukan (setelah
dikoreksi oleh kadar moisture).
Suhunya adalah 900oC, dengan waktu pemanasan tujuh menit tepat.
Volatile
yang
menguap terdiri atas sebagian besar gas-gas yang mudah terbakar, seperti
hidrogen, karbon monoksida, dan metan, serta sebagian kecil uap yang dapat
mengembun seperti tar, hasil pemecahan termis seperti karbon dioksida dari
karbonat, sulfur dari pirit, dan air dari lempung.
Moisture
berpengaruh pada hasil penentuan VM
sehingga sampel yang dikeringkan dengan oven akan memberikan hasil yang berbeda
dengan sampel yang dikering-udarakan. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi
hasil penentuan VM ini adalah suhu, waktu, kecepatan pemanasan, penyebaran
butir, dan ukuran partikel.
VM yang ditentukan dapat digunakan untuk
menentukan rank suatu batubara, klasifikasi, dan proporsinya dalam blending.
Volatile matter juga penting dalam pemilihan peralatan pembakaran dan
kondisi efisiensi pembakaran.
PERHITUNGAN AU
Analisa Ultimat
(analisa elementer) adalah analisa dalam penentuan jumlah unsur Karbon (Carbon
atau C), Hidrogen (Hydrogen atau H), Oksigen (Oxygen atau O),
Nitrogen (Nytrogen atau N) dan Sulfur (Sulphur atau S).
Komponen organik batubara terdiri atas senyawa kimia yang
terbentuk dari hasil ikatan antara karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen dan
sulfur. Analisa ultimat merupakan analisa kimia untuk mengetahui presentase
dari masing-masing senyawa. Dari hasil analisa tersebut, penggunaan batubara
khususnya PLTU dapat memperkirakan secara stoikiometri udara yang akan
dibutuhkan dalam pembakaran batubara nanti. Persamaan yang digunakan untuk
menentukan jumlah udara yang dibutuhkan dalam pembakaran secara teoritis adalah
sebagai berikut :
……….(2.1)
Dimana :
A/F adalah
perbandingan udara-bahan bakar teoritis, satuan kg udara/kg bahan bakar.
C, H, S dan O adalah kandungan C, H, S dan O
dalam batubara basis begitu terbakar atau diterima (as fired atau as received)
Nilai 0,232 adalah jumlah
oksigen dalam udara.
Karbon dan Hidrogen
Karbon dan hidrogen dalam batubara merupakan senyawa
kompleks hidrokarbon yang dalam proses pembakaran akan membentuk CO2 dan
H2O. Selain dari karbon, mineral karbonat juga akan membebaskan CO2 selama
proses pembakaran batubara berlangsung, sedangkan H2O diperoleh dari air yang
terikat pada tanah liat. Analisa ini sangat penting untuk menentukan proses
pembakaran, terutama untuk penyediaan jumlah udara yang dibutuhkan.
Untuk
penentuan karbon dan hidrogen dalam batubara yang mempunyai rank rendah
digunakan cara Liebig, karena batubara yang banyak mengandung volatile
matter tinggi dapat
meledak bila dipanaskan sampai suhu tinggi. Namun, penetapan kadar karbon dan hidrogen sesuai metode
ASTM D 5373-02 adalah dengan menggunakan Teknik Infra Red (IR).
Pada
metode ASTM D 5373-02, contoh batubara
dibakar pada temperatur tinggi dalam aliran oksigen sehingga seluruh hidrogen
diubah menjadi uap air dan karbon menjadi karbondioksida. Uap air dan
karbondioksida ditangkap oleh detektor infra
red. Melalui detektor inilah kandungan karbon dan hidrogen dapat dibaca.
Nitrogen
Nitrogen dalam batubara hanya terdapat sebagai senyawa
organik. Tidak dikenal adanya mineral pembawa nitrogen dalam batubara, hanya
ada beberapa senyawa nitrogen dalam air kapiler, terutama dalam batubara muda.
Pada pembakaran batubara, nitrogen akan berubah menjadi nitrogen oksida yang
bersama gas buangan akan bercampur dengan udara. Senyawa ini merupakan pencemar
udara sehingga batubara dengan kadar nitrogen rendah lebih disukai.
Prinsip penentuan nitrogen dalam batubara semuanya dengan cara
mengubah nitrogen menjadi amonium sulfat melalui destruksi terhadap zat organik
pembawa nitrogen dalam batubara. Dalam metode ini, digunakan asam sulfat dan
katalisator. Banyaknya amonium sulfat yang terbentuk ditentukan dengan cara
titrimetri.
Selain itu, seperti juga pada penentuan
kadar karbon dan hidrogen, dalam metode
ASTM D 5373-02 kadar nitrogen dapat diketahui dengan menggunakan Thermal Conductivity (TC) pada alat yang
sama dengan penentuan kadar karbon dan hidrogen di atas. TC inilah yang akan
menangkap kadar nitrogen dalam nitrogen oksida.
Data nitrogen digunakan untuk
membandingkan batubara dalam penelitian. Jika oksigen diperoleh dari
perhitungan, maka nitrogen diperoleh dari sampel yang ditentukan. Dalam
pembakaran pada suhu tinggi, nitrogen akan diubah menjadi NOx yang merupakan
salah satu senyawa pencemar udara.
Sulfur BATUBARA
Dalam proses pembakaran, sulfur dalam batubara akan
membentuk oksida yang kemudian terlepas ke atmosfir sebagai emisi. Ada tiga
jenis sulfur yang terikat dalam batubara, yaitu :
1. Sulfur organik, dimana satu sama lain terikat ke dalam senyawa
hidrogen sebagai substansi dari batubara.
2. Mineral
sulfida, seperti pirit dalam fraksi organic (pyritic sulfur).
3. Mineral sulfat, seperti kalsium sulfat atau hidrous
iron.
Sulfur kemungkinan merupakan pengotor utama nomor dua
(setelah ash) dalam
batubara, karena :
1. Dalam batubara bahan bakar, hasil
pembakarannya mempunyai daya korosif dan sumber polusi udara.
2. Moisture dan sulfur (terutama sebagai
pirit) dapat menunjang terjadinya pembakaran spontan.
3. Semua bentuk sulfur tidak dapat dihilangkan
dalam proses pencucian.
Batubara dengan kadar sulfur yang tinggi menimbulkan banyak
masalah dalam pemanfaatannya. Bila batubara itu dibakar, sulfur akan
menyebabkan korosi dalam ketel dan membentuk endapan isolasi pada tabung ketel
uap (yang disebut slagging). Disamping
itu juga menimbulkan pencemaran udara. Sebagian sulfur akan terbawa dalam hasil
pencairan batubara, gasifikasi, dan pembuatan kokas. Jadi
harus dihilangkan dulu sebelum dilakukan proses-proses tersebut.
BAGAIMANA PROSES TERJADINYA PENGENDAPAN
Endapan Batu Bara

sejarah sedimentasinya. Selain itu, proses pasca pengendapan seperti tektonik, metamorfosis, vulkanik dan proses sedimentasi lainnya turut mempengaruhi kondisi geologi atau tingkat kompleksitas pada saat pembentukan batubara.
Kondisi Geologi/Kompleksitas
Berdasarkan proses
sedimentasi dan pengaruh tektonik, karakteristik geologi tersebut dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama yaitu : kelompok geologi sederhana, kelompok geologi moderat, dan kelompok geologi kompleks. Uraian
tentang batasan umum untuk masing-masing kelompok, antara lain :
Kondisi Geologi Sederhana
Endapan batubara pada kelompok ini
umumnya tidak dipengaruhi oleh aktivitas tektonik, seperti : sesar, lipatan,
dan intrusi. Lapisan batubara pada umumnya landai, menerus secara lateral
sampai ribuan meter, dan hampir tidak mempunyai percabangan. Ketebalan lapisan
batubara secara lateral serta kualitasnya tidak memperlihatkan variasi yang
berarti. Contoh endapan batubara seperti ini terdapat di Lapangan Banko Selatan
dan Muara Tiga Besar (Sumatera Selatan), Senakin Barat (Kalimantan Selatan) dan
Cerenti (Riau).
Kondisi Geologi Moderat
Endapan batubara dalam kelompok ini diendapkan dalam
kondisi sedimentasi yang lebih bervariasi dan sampai tingkat tertentu telah
mengalami perubahan pasca pengendapan dan tektonik. Sesar dan lipatan tidak
begitu banyak, begitu pula dengan pergeseran dan perlipatan yang diakibatkannya
relatif sedang.
Kelompok ini dicirikan dengan kemiringan
lapisan dan variasi ketebalan lateral yang sedang serta berkembangnya
percabangan lapisan batubara, namun sebarannya masih dapat diikuti sampai ratusan
meter. Kualitas batubara secara langsung berkaitan dengan tingkat perubahan
yang terjadi baik pada saat proses sedimentasi berlangsung maupun pada pasca
pengendapan. Pada beberapa tempat, intrusi batuan beku mempengaruhi struktur
lapisan dan kualitas batubara. Endapan batubara seperti ini terdapat di daerah
Senakin, Formasi Tanjung (Kalimantan Selatan), Loa Janan-Loa Kulu, Petanggis
(Kalimantan Timur), Suban dan Air Laya (Sumatera Selatan) serta Gunung Batu
Besar (Kalimantan Selatan).
Kondisi
Geologi Kompleks
Endapan
batubara pada kelompok ini umumnya diendapkan dalam sistem sedimentasi yang
komplek atau telah mengalami deformasi tektonik yang ekstensif sehingga
terbentuknya lapisan batubara dengan ketebalan yang beragam. Kualitas batubara
banyak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi saat proses
sedimentasi berlangsung atau pada pasca pengendapan, seperti : pembelahan atau
kerusakan lapisan (wash out), pergeseran, perlipatan, dan pembalikan (overturned)
yang ditimbulkan oleh aktivitas tektonik, umum dijumpai dan sifatnya rapat
sehingga menjadikan lapisan batubara sukar dikorelasikan.
Perlipatan yang kuat juga mengakibatkan kemiringan
lapisan yang terjal. Secara lateral, sebaran lapisan batubara terbatas dan
hanya dapat diikuti sampai puluhan meter. Endapan batubara dari kelompok ini,
banyak ditemukan pada daerah Ambakiang, Formasi Warukin, Ninian, Belahing, dan
Upau (Kalimantan Selatan), Sawahluwung (Sawahlunto, Sumatera Barat), daerah Air
Kotok (Bengkulu), Bojongmanik (Jawa Barat) serta daerah batubara yang mengalami
ubahan intrusi batuan beku di Bunian Utara (Sumatera Selatan)KENAPA SUMSEL BATUBARANYA LEBIH TEBAL
Blake (1989) menyebutkan Sumatera Selatan mempunyai daerah Cekungan batubara yang merupakan
cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya
interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan
lempeng Samudera India.
Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Secara Geologi, Formasi pembawa
batubara pada cekungan Sumatera Selatan adalah Formasi Talang Akar, Air
Benakat, Muara Enim dan Kasai, tetapi yang berpotensi adalah Formasi Muara
Enim. Secara umum Shell (1978) telah melakukan pemisahan terhadap Formasi Muara
Enim menjadi 4 anggota yang didasarkan pada lapisan batubara tertentu yaitu
Anggota M1, M2, M3 dan M4 (dari bawah ke atas). ((Lihat tabel kolom formasi
batubaranya)
Tabel Kolom Stratigrafi Formasi Muara Enim
UMUR
|
FORMASI
% ANGGOTA |
BAYUNG LINCIR
(Sukardi, 1999)
|
CEKUNGAN SUMATERA SELATAN
(Shell Mijnbow, 1976) |
|||||
PEMERIAN
LITOLOGI
|
SEAM
BB
|
PEMERIAN
LITOLOGI
|
SEAM
BB
|
|||||
KUATER
|
ALUVIAL
|
Endapan lumpur dan
rawa-rawa
|
Endapan terestrial,
umumnya hasil rombakan Formasi Kasai
|
|||||
KASAI
|
Batu
lempung tufaan dan batu pasir tufaan, abu-abu muda kecoklatan
|
Lempung biru hijau,
batu pasir hijau glaukonitan, batu apung, lensa batubara
|
||||||
M-
|
Batu
lempung, abu-abu hijau mudakompak,
tufaan, sisipan batu pasir, abu-abu hijau dan sisipan batubara mengandung
3 seam Lematang
(0,20 - 0,60)m, Babat (0,95 -
2,90)m, Kebon (0,80)m
|
Lower
Lematang Baba
Kebon
|
Lempung
tufaan, hijau biru dan lempung pasiran,
pasir halus - kasar, putih abuabu, sedikit
glaukonit, tebal 120- 200 m
|
Niru
Lematang Babat/ Benakat Kebon |
||||
M-3
|
Batu lanau dan batu
lempung abu- abu. Batu pasir abu-abu putih
kotor mengandung 2 seam, Benuang
(1,20 - 4,90)m, Burung (1,15 - 2,70)m.
|
Benuang Burung
|
Perselingan
pasir dan lanau, biru hijau, lempung abuabu hijau dan coklat. Horizon pasir 3-6
m yang terletak 40m
diatas seam Manggus
dan terdapat kantong-kantong gas tebal
antara 100-280 m.
|
Benuang
Burung
|
||||
M-2
|
Batu
lempung abu-abu tua, kompak selang seling batu pasir dan batu lanau abu-abu,
mengandung 3 seam.
Manggus (2.0 - 5)m, Suban (1.0- 5,40)m,
menipis, Petai (tidak menerus).
|
Manggus Suban Petai
|
Lempung
dan lempung pasiran, coklat abuabu; Pasir halus sedang, co
klat
abuabu dibagian bawah berwarna hijau abuabu, Tebal antara 40– 120m.
|
Benuang
Burung
|
||||
M-1
|
Batu
pasir hijau, kwarsa, batu lanauhijau muda-abuabu, batu lempungabuabu,
dijumpai 2 seam batubara, Seam Merapi (1,40 - 1 ,50)m, Keladi (0,90 - 1,40)m.
|
Merapi Keladi
|
Pasir, lanau dan
lempung coklat abuabu dengan sedikit pasir
glaukoitan, Tebal 100 - 250 m.
|
Merapi Keladi
|
||||
BENAKAT
|
Batu
lempung dan batu lanau, abu- abu kecoklatan, Batu pasir halus, abu-abu kehijauan, sebagian
glokonitan
|
Lempung
dan serpih pasiran, abuabu coklat dan biru abuabu, sebagian napalan, pasir halus, hijau abuabu
mengandung glaukonit.
|
BRO COAL PROJECT

GEG
