Senin, 21 Januari 2013

Metode Coal Classification Scheme (ISO)

Metode Coal Classification Scheme (ISO)
         Klasifikasi ISO dipergunakan untuk industri kokas dan pembangkit listrik. Klasifikasi ISO didasarkan pada kandungan VM batubara dalam dry ash free (daf), nilai muai bebas (free swelling index (FSI)) atau Roga index, dan Gray King Coke Type. 

Metode Australia Classification

Metode Australia Classification
         Klasifikasi batubara Australia didasarkan pada VM, FSI, Gray King Coke Type dan kandungan ash. Parameter ash penting bagi klasifikasi ini, karena batubara Australia memiliki kadar ash tinggi. 

Metode ECE Classification

Metode ECE Classification
         ECE membuat sistem klasifikasi yang dapat dipergunakan secara luas, pada tahun 1965 yang kemudian menjadi standar international. Sistem ini mengelompokkan batubara dalam class, group dan sub-group. Coal class mempergunakan CV atau VM sebagai patokan; Coal group mempergunakan Gray-King coke type atau maximum dilatation pada Audibert-Arnu dilatometer test sebagai patokan; sedangkan coal sub-group mempergunakan Crucible swelling number dan Roga test sebagai patokan.
         Sistem ini mampu menunjukkan coal rank dan potensi penggunaannya, terutama coal group dan coal sub-group yang menjelaskan perilaku batubara jika dipanaskan secara perlahan maupun secara cepat sehingga dapat memberikan gambaran kemungkinan penggunaannya. Pada tahun 1988 sistem ini dirubah dengan lebih menekankan pada pengukuran petrographic. Saat ini, sistem ini didasarkan pada vitrinite reflectance dan reflectrogram, komposisi maceral, FSI, VM, ash, sulfur, dan gross CV.

Metode Fuel Ratio

Metode Fuel Ratio
      Klasifikasi berdasarkan perbandingan antara prosentase karbon tertambat dengan presentase zat terbang dan dapat dirumuskan sebagai berikut :

SPEC BATUBARA UNTUK PLN

Spesifikasi Batubara untuk Pembangkit Listrik
ANALYSIS
RANGE
TYPICAL

Proximat Analysis (ar, % by wt) :
- Volatile Matter
- Fixed Carbon
- Total Moisture 
- Ash Content

Hardgrove Grindability Index (HGI)

Heating Value (ar, Kcal/kg) :
- Net Calorific Value
- Gross Calorific Value

Ultimate Analysis (ar, % by wt) :
- Carbon
- Hydrogen
- Nitrogen
- Oxygen
- Sulfur

Ash Analysis (ar, % by wt) :
- Silica
- Iron
- Alluminium Dioxide (Al2O3)
- Calsium Oxide (CaO)
- Magnesium Oxide (MgO)
- Sodium Oxide (Na2O)
- Potasium Oxide (K2O)

Fusion Point of Ash (in reducing atmosphere, o C) :
- Initial Deformation
- Fluid

Ukuran butiran :
- Lolos ayakan 50 mm, 95 %
- Lolos ayakan > 50 mm, 5 % 



33,47 – 43,22
32,10 – 43,50
17,38 – 32,23
2,27 – 19,72

41,00 – 60,00


3681 – 4967
4047 – 5309


52,94 – 80,57
3,54 – 8,99
0,41 – 1,37
9,37 – 24,63
0,07 -2,49


37,10 – 67,40
2,50 – 10,78
7,40 – 34,50
1,50 – 8,40
1,40 – 4,40
1,80 – 6,60
0,20 – 0,70


782 – 1500
896 – 1580


40,00
37,00
28,00
8,00

48,00


4620
5000


56,23
5,31
0,75
13,78
1,00


54,62
5,40
22,54
2,40
2,40
4,10
0,30


1250 Appr
1350+

GAR. GAD DAN NAR

Istilah persyaratan kalori dalam transaksi batubara dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
a. GAD (Gross CV; ADB)
Untuk kondisi ini, tampilan kalori cenderung tidak menunjukkan besaran kalor secara tepat yang akan digunakan dalam pemanfaatan batubara, karena Free Moisture tidak termasuk di dalamnya.
b. GAR (Gross CV; ARB)
Karena analisis untuk kalori pada kondisi ini memasukkan faktor kadar air total, maka kondisi ini menunjukkan batubara dalam keadaan siap digunakan. Akan tetapi, tampilan kalori masih belum menunjukkan kalor yang efektif untuk dimanfaatkan dalam konversi energi yang bermanfaat.
c. NAR (Net CV; ARB)
Kondisi inilah yang benar – benar menampilkan energi panas efektif dalam pemanfaatan batubara. Secara ringkasnya, transaksi komoditas batubara (uap) sebenarnya sama saja dengan “membeli kalor (efektif)”. Sehingga dapat dipahami bahwa munculnya prasyarat NAR merupakan sesuatu yang logis. Untuk mendapatkan nilai GCV dalam NAR ini, perlu dilakukan perhitungan dengan rumus seperti di bawah
NAR (kcal/kg) = GAR (kcal/kg) – 50.7H – 5.83TM ………. (3)
Beberapa hal yang perlu di perhatikan dari persamaan di atas adalah:
- NAR adalah NCV dalam ARB.
- GAR adalah GCV dalam ARB. Karena biasanya dalam ADB, maka harus dikonversi ke ARB.
- H (kadar hidrogen) biasanya dalam DB atau DAF sehingga harus dikonversi ke ARB.
Menggunakan formula dari tabel 2 dan persamaan (3) diatas, kita akan mencoba mengkonversi GCV dari sampel batubara dalam tabel 1 ke NCV berbasis ARB. Karena pada sampel tersebut tidak dilakukan analisis untuk unsur H (hidrogen), maka besaran angka yang akan digunakan disesuaikan dengan tipikal nilai H untuk batubara di daerah tersebut, dalam hal ini sekitar 5.4 (DAF).
Untuk konversi kalori dari GCV (ADB) ke GCV (ARB), maka berdasarkan tabel 3,
GCV (ARB) = 5,514 kcal/kg.
Sedangkan perhitungan dari H (DAF) ke H (ARB), maka berdasarkan formula tabel 2,
H (ARB) = 4.18%.
Bila angka – angka tersebut disubstitusi ke persaman (3), maka
NCV (ARB) = 5,191 kcal/kg.
Dengan demikian, maka:
Gross ADB (GAD) = 5,766 kcal/kg;
Gross ARB (GAR) = 5,514 kcal/kg;
Net ARB (NAR)   = 5,191 kcal/kg.
Yang harus diperhatikan adalah bahwa meskipun terdapat 3 nilai yang berbeda untuk kalori, tapi semuanya merujuk ke batubara yang sama. Adapun angka mana yang akan digunakan dalam kontrak pembelian, tergantung dari kesepakatan pembeli dan penjual. Sebagai contoh konkret dalam hal ini :.
Bila indeks harga untuk batubara berkalori 6,000 kcal/kg (GCV; ADB) adalah $35.00/t FOBT misalnya, maka harga batubara di kontrak pembelian dalam Gross ADB berdasarkan calorie parity adalah 5,766/6,000 X $35.00/t = $33.64/t.
Berikutnya bila kesepakatan kontrak pembelian adalah dalam Net ARB. Bila index untuk batubara berkalori 6,000 kcal/kg tadi dalam Net ARB adalah 5,500 kcal/kg, maka harga batubara akan menjadi 5,191/5,500 X $35.00/t = $ 33.03/t. (Dalam hal ini, harga index tidak tergantung dari basis analisis).

UBC

Upgraded Brown Coal (UBC) merupakan proses peningkatan nilai kalori batubara kalori rendah melalui penurunan kadar air lembab dalam batubara. Air yang terkandung dalam batubara terdiri dari air bebas (free moisture) dan air lembab (inherent moisture). Air bebas adalah air yang terikat secara mekanik dengan batubara pada permukaan dalam rekahan atau kapiler yang mempunyai tekanan uap normal. Adapun air lembab adalah air terikat secara fisik pada struktur pori-pori bagian dalam batubara dan mempunyai tekanan uap yang lebih rendah daripada tekanan normal.Kandungan air dalam batubara baik air bebas maupun air lembab merupakan faktor yang merugikan karena memberikan pengaruh yang negatif terhadap proses pembakarannya. Penurunan kadar air dalam batubara, dapat dilakukan dengan cara mekanik atau perlakuan panas. Pengeringan cara mekanik efektif untuk mengurangi kadar air bebas dalam batubara basah, sedangkan penurunan kadar air lembab harus dilakukan dengan cara pemanasan atau penguapan.


Proses UBC merupakan salah satu cara penghilangan kadar air dalam batubara melalui proses penguapan (evaporasi). Dibandingkan dengan teknologi upgrading lainnya, seperti hot water drying (HWD) atau steam drying (SD) yang dilakukan pada temperatur diatas 275oC dan tekanan yang cukup tinggi 5.500 kpa (Baker,dkk.,1986), proses UBC sangat sederhana karena temperature dan tekanan yang digunakan lebih rendah, yaitu 150 – 160oC dengan tekanan 350 Kpa. Dengan rendahnya temperatur dan tekanan, pengeluaran tar dari batu bara belum sempurna, karenya perlu ditambahkan zat aditif sebagai penutup permukaan batubara seperti kanji, tetes tebu (mollase), slope pekat (fuse oil), minyak residu, dan lain-lain. Untuk proses UBC sebagai aditif digunakan low sulfur wax residue (LSWR) yang merupakan senyawa organik yang beberapa sifat kimianya mempunyai kesamaan dengan batubara. Denagn kesamaan sifat kimia tersebut, residu yang masuk kedalam pori-pori batubara akan kering kemudian bersatu denagan batubara. Lapisan minyak ini cukup kuat dan dapat menempel pada waktu yang cukup lama sehingga batubara dapat disimpan di tempat terbuka untuk jangka waktu yang cukup lama (Couch, 1990)
Salah satu alternative batubara produk proses UBC adalah dalam bentuk slurry atau disebut juga dengan coal water mixture (CWM) atau coal water fuel (CWF) yang mempunyai viskositas yang ekivalen dengan minyak berat.
Hasil penelitian pada pilot plant UBC dengan kapasitas 5 ton/hari, yang dibangun dan beroperasi di Palimanan Cirebon sejak tahun 2003 dengan commissioning menggunakan batubara Binungan, Kalimantan Timur (Umar,dkk.,2003) menunjukkan bahwa karakteristik batubara kalori rendah anatar satu daerah dengan daerah lainnya berbeda, sehingga perlakuan dalam proses UBC harus berbeda pula. Hali ini ditunjukkan dengan perbedaan hasil evaluasi unjuk kerja peralatan proses UBC, terutama pada slurry dewatering, decanter (pemisahan batubara-minyak) dan pengeringan batubara. Penelitian dengan batubara Samarangau, Kalimantan Timur, diketahui bahaa kecepatan umpan dan temperatur proses mempengaruhi kualitas batubara hasil proses. Kecepatan umpan 100 kg/jam, temperatur 160oC dan tekanan 300 Kpa memberikan hasil yang terbaik dengan persen penurunan kadar air terbesar, yaitu 94,80%. Pada kondisi ini nilai kalor dari 4657 kal/gr naik menjadi 6632 kal/gr atau persen kenaikan 40,6 % (Umar,dkk.,2005)

Kandungan Air (Moisture content)


       Dalam batubara, moisture content paling sedikitnya terdiri atas satu senyawa kimia tunggal. Wujudnya dapat berbentuk air yang dapat mengalir dengan cepat dari dalam sampel batubara, senyawa teradsorpsi, atau sebagai senyawa yang terikat secara kimia. Sebagian moisture merupakan komponen zat mineral yang tidak terikat pada batubara.
  Dalam ilmu perbatuan, dikenal istilah moisture dan air. Moisture didefinisikan sebagai air yang dapat dihilangkan bila batubara dipanaskan sampai suhu 105°C. Sementara itu, air dalam batubara ialah air yang terikat secara kimia pada lempung.
       Semua batubara mempunyai pori-pori berupa pipa-pipa kapiler, dalam keadaan alami pori-pori ini dipenuhi oleh air. Didalam standar ASTM, air ini disebut moisture bawaan (inherent moisture). Ketika batubara ditambang dan diproses, air dapat teradsorpsi pada permukaan kepingan batubara, menurut standar ASTM air ini disebut moisture permukaan (surface moisture). Air yang terbentuk dari penguraian fraksi organik batubara atau zat mineral secara termis bukan merupakan bagian dari moisture dalam batubara.
       Moisture yang datang dari luar saat batubara itu ditambang dan diangkut atau terkena hujan selama penyimpanan disebut free moisture (standar ISO) atau air-dry loss (standar ASTM). Moisture jenis ini dapat dihilangkan dari batubara dengan cara dianginkan atau dikering-udarakan. Moisture in air-dried sample (ISO) atau residual moisture (ASTM) ialah moisture yang hanya dapat dihilangkan bila sampel batubara kering-udara yang berukuran lebih kecil dari 3 mm (-3 mm) dipanaskan hingga 105°C. Penjumlahan antara free moisture dan residual moisture disebut total moisture. Data moisture dalam batubara kering-udara ini digunakan untuk menghitung besaran lainnya dari basis kering-udara (adb), bebas- ash (daf) dan basis kering, bebas-mineral matter (dmmf).
   Kandungan air total merupakan dasar penilaian yang sangat penting. Secara umum, tinggi rendahnya kandungan air berpengaruh pada beberapa aspek teknologi penggunaan batubara terutama dalam penggunaan untuk tenaga uap. Dalam penggerusan, kelebihan kandungan air akan berakibat pada komponen mesin penggerus karena abrasi. Parameter lain yang terpengaruh oleh kandungan air adalah nilai kalor. Semakin besar kadar air yang terkandung oleh batubara maka akan semakin besar pula nilai kalor dalam pembakaran.
      Penentuan kandungan air didalam batubara bisa dilakukan melalui proses satu tahap atau proses dua tahap. Proses dilakukan dengan cara pemanasan sampel sampai terjadi kesetimbangan kandungan air didalam batubara dan udara. Penentuan kandungan air dengan cara tersebut dilakukan pada temperatur diatas titik didih air (ASTM 104-110o C).

Kandungan Abu (Ash content)


       Coal ash didefinisikan sebagai zat organik yang tertinggal setelah sampel batubara dibakar (incineration) dalam kondisi standar sampai diperoleh berat yang tetap. Selama pembakaran batubara, zat mineral mengalami perubahan, karena itu banyak ash umumnya lebih kecil dibandingkan dengan banyaknya zat mineral yang semula ada didalam batubara. Hal ini disebabkan antara lain karena menguapnya air konstitusi (hidratasi) dan lempung, karbon dioksida serta karbonat, teroksidasinya pirit menjadi besi oksida, dan juga terjadinya fiksasi belerang oksida.
     Ash batubara, disamping ditentukan kandungannya (ash content), ditentukan pula susunan (komposisi) kimianya dalam analisa ash dan suhu leleh dalam penentuan suhu leleh ash.
       Abu merupakan komponen non-combustible organic yang tersisa pada saat batubara dibakar. Abu mengandung oksida-oksida logam seperti SiO2, Al2O3, Fe2O3, dan CaO, yang terdapat didalam batubara. Kandungan abu diukur dengan cara membakar dalam tungku pembakaran (furnace) pada suhu 815°C. Residu yang terbentuk merupakan abu dari batubara.
    Dalam pembakaran, semakin tinggi kandungan ash batubara, semakin rendah panas yang diperoleh dari batubara tersebut. Sebagai tambahan, masalah bertambah pula misalnya untuk penanganan dan pembuangan ash hasil pembakaran.

Kandungan Fixed carbon


       Fixed Carbon (FC) menyatakan banyaknya karbon yang terdapat dalam material sisa setelah volatile matter dihilangkan. FC ini mewakili sisa penguraian dari komponen organik batubara ditambah sedikit senyawa nitrogen, belerang, hidrogen dan mungkin oksigen yang terserap atau bersatu secara kimiawi. Kandungn FC digunakan sebagai indeks hasil kokas dari batubara pada waktu dikarbonisasikan, atau sebagai suatu ukuran material padat yang dapat dibakar di dalam peralatan pembakaran batubara setelah fraksi zat mudah menguap dihilangkan. Apabila ash atau zat mineral telah dikoreksi, maka kandungan FC dapat dipakai sebagai indeks rank batubara dan parameter untuk mengklasifikasikan batubara.
    Fixed Carbon ditentukan dengan perhitungan : 100% dikurangi persentase moisture, VM, dan ash (dalam basis kering udara (adb)).
       Data Fixed Carbon digunakan dalam mengklasifikasikan batubara, pembakaran, dan karbonisasi batubara. Fixed Carbon kemungkinan membawa pula sedikit presentase nitrogen, belerang, hidrogen, dan mungkin pula oksigen sebagai zat terabsorbsi atau bergabung secara kimia.
    Fixed Carbon merupakan ukuran dan padatan yang dapat terbakar yang masih berada dalam peralatan pembakaran setelah zat-zat mudah menguap yang ada dalam batubara keluar. Ini adalah salah satu nilai yang digunakan didalam perhitungan efesiensi peralatan pembakaran.

Volatile Matter


       Definisi volatile matter (VM) ialah banyaknya zat yang hilang bila sampel batubara dipanaskan pada suhu dan waktu yang telah ditentukan (setelah dikoreksi oleh kadar moisture). Suhunya adalah 900oC, dengan waktu pemanasan tujuh menit tepat.
       Volatile yang menguap terdiri atas sebagian besar gas-gas yang mudah terbakar, seperti hidrogen, karbon monoksida, dan metan, serta sebagian kecil uap yang dapat mengembun seperti tar, hasil pemecahan termis seperti karbon dioksida dari karbonat, sulfur dari pirit, dan air dari lempung.

    Moisture berpengaruh pada hasil penentuan VM sehingga sampel yang dikeringkan dengan oven akan memberikan hasil yang berbeda dengan sampel yang dikering-udarakan. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil penentuan VM ini adalah suhu, waktu, kecepatan pemanasan, penyebaran butir, dan ukuran partikel.
    VM yang ditentukan dapat digunakan untuk menentukan rank suatu batubara, klasifikasi, dan proporsinya dalam blending. Volatile matter juga penting dalam pemilihan peralatan pembakaran dan kondisi efisiensi pembakaran.

PERHITUNGAN AU



Analisa Ultimat (analisa elementer) adalah analisa dalam penentuan jumlah unsur Karbon (Carbon atau C), Hidrogen (Hydrogen atau H), Oksigen (Oxygen atau O), Nitrogen (Nytrogen atau N) dan Sulfur (Sulphur atau S).
       Komponen organik batubara terdiri atas senyawa kimia yang terbentuk dari hasil ikatan antara karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen dan sulfur. Analisa ultimat merupakan analisa kimia untuk mengetahui presentase dari masing-masing senyawa. Dari hasil analisa tersebut, penggunaan batubara khususnya PLTU dapat memperkirakan secara stoikiometri udara yang akan dibutuhkan dalam pembakaran batubara nanti. Persamaan yang digunakan untuk menentukan jumlah udara yang dibutuhkan dalam pembakaran secara teoritis adalah sebagai berikut :
……….(2.1)
Dimana :
A/F adalah perbandingan udara-bahan bakar teoritis, satuan kg udara/kg bahan bakar.
C, H, S dan O adalah kandungan C, H, S dan O dalam batubara basis begitu terbakar atau diterima (as fired atau as received)
Nilai 0,232 adalah jumlah oksigen dalam udara.

Karbon dan Hidrogen


       Karbon dan hidrogen dalam batubara merupakan senyawa kompleks hidrokarbon yang dalam proses pembakaran akan membentuk CO2 dan H2O. Selain dari karbon, mineral karbonat juga akan membebaskan CO2 selama proses pembakaran batubara berlangsung, sedangkan H2O diperoleh dari air yang terikat pada tanah liat. Analisa ini sangat penting untuk menentukan proses pembakaran, terutama untuk penyediaan jumlah udara yang dibutuhkan.
       Untuk penentuan karbon dan hidrogen dalam batubara yang mempunyai rank rendah digunakan cara Liebig, karena batubara yang banyak mengandung volatile matter tinggi dapat meledak bila dipanaskan sampai suhu tinggi. Namun, penetapan kadar karbon dan hidrogen sesuai metode ASTM D 5373-02 adalah dengan menggunakan Teknik Infra Red (IR).
       Pada metode  ASTM D 5373-02, contoh batubara dibakar pada temperatur tinggi dalam aliran oksigen sehingga seluruh hidrogen diubah menjadi uap air dan karbon menjadi karbondioksida. Uap air dan karbondioksida ditangkap oleh detektor infra red. Melalui detektor inilah kandungan karbon dan hidrogen dapat dibaca. 

Nitrogen

                                                 
       Nitrogen dalam batubara hanya terdapat sebagai senyawa organik. Tidak dikenal adanya mineral pembawa nitrogen dalam batubara, hanya ada beberapa senyawa nitrogen dalam air kapiler, terutama dalam batubara muda. Pada pembakaran batubara, nitrogen akan berubah menjadi nitrogen oksida yang bersama gas buangan akan bercampur dengan udara. Senyawa ini merupakan pencemar udara sehingga batubara dengan kadar nitrogen rendah lebih disukai.
       Prinsip penentuan nitrogen dalam batubara semuanya dengan cara mengubah nitrogen menjadi amonium sulfat melalui destruksi terhadap zat organik pembawa nitrogen dalam batubara. Dalam metode ini, digunakan asam sulfat dan katalisator. Banyaknya amonium sulfat yang terbentuk ditentukan dengan cara titrimetri.
       Selain itu, seperti juga pada penentuan kadar karbon dan hidrogen, dalam  metode ASTM D 5373-02 kadar nitrogen dapat diketahui dengan menggunakan Thermal Conductivity (TC) pada alat yang sama dengan penentuan kadar karbon dan hidrogen di atas. TC inilah yang akan menangkap kadar nitrogen dalam nitrogen oksida.
       Data nitrogen digunakan untuk membandingkan batubara dalam penelitian. Jika oksigen diperoleh dari perhitungan, maka nitrogen diperoleh dari sampel yang ditentukan. Dalam pembakaran pada suhu tinggi, nitrogen akan diubah menjadi NOx yang merupakan salah satu senyawa pencemar udara. 

Sulfur BATUBARA


       Dalam proses pembakaran, sulfur dalam batubara akan membentuk oksida yang kemudian terlepas ke atmosfir sebagai emisi. Ada tiga jenis sulfur yang terikat dalam batubara, yaitu :
1.  Sulfur organik, dimana satu sama lain terikat ke dalam senyawa hidrogen sebagai substansi dari batubara.
2.  Mineral sulfida, seperti pirit dalam fraksi organic (pyritic sulfur).
3.  Mineral sulfat, seperti kalsium sulfat atau hidrous iron.
       Sulfur kemungkinan merupakan pengotor utama nomor dua (setelah ash) dalam batubara, karena :
1.  Dalam batubara bahan bakar, hasil pembakarannya mempunyai daya korosif dan sumber polusi udara.
2.  Moisture dan sulfur (terutama sebagai pirit) dapat menunjang terjadinya pembakaran spontan.
3.  Semua bentuk sulfur tidak dapat dihilangkan dalam proses pencucian.
       Batubara dengan kadar sulfur yang tinggi menimbulkan banyak masalah dalam pemanfaatannya. Bila batubara itu dibakar, sulfur akan menyebabkan korosi dalam ketel dan membentuk endapan isolasi pada tabung ketel uap (yang disebut slagging). Disamping itu juga menimbulkan pencemaran udara. Sebagian sulfur akan terbawa dalam hasil pencairan batubara, gasifikasi, dan pembuatan kokas. Jadi harus dihilangkan dulu sebelum dilakukan proses-proses tersebut.

BAGAIMANA PROSES TERJADINYA PENGENDAPAN



Endapan Batu Bara
  Secara umum endapan batubara utama di Indonesia terdapat dalam endapan batubara Ombilin, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Bengkulu. Tipe endapan batubara tersebut masing-masing memiliki karakteristik tersendiri yang mencerminkan
sejarah sedimentasinya. Selain itu, proses pasca pengendapan seperti tektonik, metamorfosis, vulkanik dan proses sedimentasi lainnya turut mempengaruhi kondisi geologi atau tingkat kompleksitas pada saat pembentukan batubara.
Kondisi Geologi/Kompleksitas
       Berdasarkan proses sedimentasi dan pengaruh tektonik, karakteristik geologi tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama yaitu : kelompok geologi sederhana, kelompok geologi moderat, dan kelompok geologi kompleks. Uraian tentang batasan umum untuk masing-masing kelompok, antara lain :
Kondisi Geologi Sederhana
       Endapan batubara pada kelompok ini umumnya tidak dipengaruhi oleh aktivitas tektonik, seperti : sesar, lipatan, dan intrusi. Lapisan batubara pada umumnya landai, menerus secara lateral sampai ribuan meter, dan hampir tidak mempunyai percabangan. Ketebalan lapisan batubara secara lateral serta kualitasnya tidak memperlihatkan variasi yang berarti. Contoh endapan batubara seperti ini terdapat di Lapangan Banko Selatan dan Muara Tiga Besar (Sumatera Selatan), Senakin Barat (Kalimantan Selatan) dan Cerenti (Riau).
Kondisi Geologi Moderat
       Endapan batubara dalam kelompok ini diendapkan dalam kondisi sedimentasi yang lebih bervariasi dan sampai tingkat tertentu telah mengalami perubahan pasca pengendapan dan tektonik. Sesar dan lipatan tidak begitu banyak, begitu pula dengan pergeseran dan perlipatan yang diakibatkannya relatif sedang.
       Kelompok ini dicirikan dengan kemiringan lapisan dan variasi ketebalan lateral yang sedang serta berkembangnya percabangan lapisan batubara, namun sebarannya masih dapat diikuti sampai ratusan meter. Kualitas batubara secara langsung berkaitan dengan tingkat perubahan yang terjadi baik pada saat proses sedimentasi berlangsung maupun pada pasca pengendapan. Pada beberapa tempat, intrusi batuan beku mempengaruhi struktur lapisan dan kualitas batubara. Endapan batubara seperti ini terdapat di daerah Senakin, Formasi Tanjung (Kalimantan Selatan), Loa Janan-Loa Kulu, Petanggis (Kalimantan Timur), Suban dan Air Laya (Sumatera Selatan) serta Gunung Batu Besar (Kalimantan Selatan).
Kondisi Geologi Kompleks
       Endapan batubara pada kelompok ini umumnya diendapkan dalam sistem sedimentasi yang komplek atau telah mengalami deformasi tektonik yang ekstensif sehingga terbentuknya lapisan batubara dengan ketebalan yang beragam. Kualitas batubara banyak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi saat proses sedimentasi berlangsung atau pada pasca pengendapan, seperti : pembelahan atau kerusakan lapisan (wash out), pergeseran, perlipatan, dan pembalikan (overturned) yang ditimbulkan oleh aktivitas tektonik, umum dijumpai dan sifatnya rapat sehingga menjadikan lapisan batubara sukar dikorelasikan.
       Perlipatan yang kuat juga mengakibatkan kemiringan lapisan yang terjal. Secara lateral, sebaran lapisan batubara terbatas dan hanya dapat diikuti sampai puluhan meter. Endapan batubara dari kelompok ini, banyak ditemukan pada daerah Ambakiang, Formasi Warukin, Ninian, Belahing, dan Upau (Kalimantan Selatan), Sawahluwung (Sawahlunto, Sumatera Barat), daerah Air Kotok (Bengkulu), Bojongmanik (Jawa Barat) serta daerah batubara yang mengalami ubahan intrusi batuan beku di Bunian Utara (Sumatera Selatan)

KENAPA SUMSEL BATUBARANYA LEBIH TEBAL

Blake (1989) menyebutkan  Sumatera Selatan mempunyai daerah Cekungan batubara yang merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India.
Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Secara Geologi, Formasi pembawa batubara pada cekungan Sumatera Selatan adalah Formasi Talang Akar, Air Benakat, Muara Enim dan Kasai, tetapi yang berpotensi adalah Formasi Muara Enim. Secara umum Shell (1978) telah melakukan pemisahan terhadap Formasi Muara Enim menjadi 4 anggota yang didasarkan pada lapisan batubara tertentu yaitu Anggota M1, M2, M3 dan M4 (dari bawah ke atas). ((Lihat tabel kolom formasi batubaranya)
Tabel Kolom Stratigrafi Formasi Muara Enim

UMUR
FORMASI
%
ANGGOTA
BAYUNG LINCIR (Sukardi, 1999)
CEKUNGAN SUMATERA SELATAN
(Shell Mijnbow, 1976)

PEMERIAN LITOLOGI
SEAM BB
PEMERIAN LITOLOGI
SEAM BB

KUATER
ALUVIAL
Endapan lumpur dan rawa-rawa
Endapan terestrial, umumnya hasil rombakan Formasi Kasai

KASAI
Batu lempung tufaan dan batu pasir tufaan, abu-abu muda kecoklatan
Lempung biru hijau, batu pasir hijau glaukonitan, batu apung, lensa batubara

M-
Batu lempung, abu-abu hijau mudakompak, tufaan, sisipan batu pasir, abu-abu hijau dan sisipan batubara mengandung 3 seam Lematang
(0,20 - 0,60)m, Babat (0,95 -
2,90)m, Kebon (0,80)m
Lower
Lematang
Baba
Kebon
Lempung tufaan, hijau biru dan lempung pasiran, pasir halus - kasar, putih abuabu, sedikit glaukonit, tebal 120- 200 m
Niru
Lematang
Babat/
Benakat
Kebon


M-3
Batu lanau dan batu lempung abu- abu. Batu pasir abu-abu putih kotor mengandung 2 seam, Benuang (1,20 - 4,90)m, Burung (1,15 - 2,70)m.
Benuang Burung
Perselingan pasir dan lanau, biru hijau, lempung abuabu hijau dan coklat. Horizon pasir 3-6 m yang terletak 40m
diatas seam Manggus dan terdapat kantong-kantong gas tebal antara 100-280 m.
Benuang Burung

M-2
Batu lempung abu-abu tua, kompak selang seling batu pasir dan batu lanau abu-abu, mengandung 3 seam. Manggus (2.0 - 5)m, Suban (1.0- 5,40)m, menipis, Petai (tidak menerus).
Manggus Suban Petai
Lempung dan lempung pasiran, coklat abuabu; Pasir halus sedang, co
klat abuabu dibagian bawah berwarna hijau abuabu, Tebal antara 40– 120m.
Benuang Burung

M-1
Batu pasir hijau, kwarsa, batu lanauhijau muda-abuabu, batu lempungabuabu, dijumpai 2 seam batubara, Seam Merapi (1,40 - 1 ,50)m, Keladi (0,90 - 1,40)m.
Merapi Keladi
Pasir, lanau dan lempung coklat abuabu dengan sedikit pasir glaukoitan, Tebal 100 - 250 m.
Merapi Keladi


BENAKAT
Batu lempung dan batu lanau, abu- abu kecoklatan, Batu pasir halus, abu-abu kehijauan, sebagian glokonitan
Lempung dan serpih pasiran, abuabu coklat dan biru abuabu, sebagian napalan, pasir halus, hijau abuabu mengandung glaukonit.


BRO COAL PROJECT

BRO COAL PROJECT

BRO COAL PROJECT

GEG

GEG

GP

CARBON COUNTER

ENERGY NEWS

NEWS

COAL PROJECT

AREA TAKE OVER

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls
Perlu Info Kontak Kami di Email kami:mars4302@yahoo.co.id Hp 082380937425